Part 65

384 56 2
                                    

"Memang pak Cik berani memberi uang panai berapa?"

Bibir Altair tersenyum sementara hatinya mengumpat. Dihadapannya duduk seorang laki-laki berpakaian kaos norak berusia sekitar lima puluh tahun. Penampilan dan wajahnya cocok untuk muncul menyeduh kopi di kantor pemerintahan walaupun hatinya bajingan.

"Berapa uang Panai paling besar yang pernah di tawarkan?" Tanya Altair balik, dingin.

"Wah.." Paman Mio menyeringai. Jelas ia suka dengan permainan ini, "Kelihatannya Pak Cik suka sekali dengan keponakan saya sampai berani tanya soal itu."

"Ya." Jawab Altair tegas tanpa senyuman. 

Paman Mio mendadak tertawa terbahak. Suara serak khas perokok beliau membahana hingga ke setiap sisi bangunan lobby penginapan. Entah tempat ini pantas disebut Lobby, resepsionis atau ruang tamu. Karena bentuknya tidak mirip dengan tiga jenis bentuk ruang itu. Hanya saja tempat ini letaknya memang ada di bagian paling depan bangunan penginapan, tapi berdebu, tidak menarik, tak teratur dan kusam.   

"Jangan-jangan kamera di ruang nenek Mio itu juga milik pak Cik?"

"Oh, kamera saya yang mungkin sudah dibanting hancur kalau bukan karena di jaga Mio selama bapak ngamuk itu."

Menjengkelkannya, bukannya malu atau setidaknya canggung, paman Mio malah berseloroh geli,"Mio itu tidak butuh kamera. Dia juga nggak butuh untuk belajar motret pak Cik! Buat apa foto? Disini mencetak foto saja tidak bisa. Harus nyebrang pulau. Kalau sudah di cetakan pun buat apa, tidak bisa di makan." Pekik paman Mio, bibir hitamnya masih terus tertawa bersamaan dengan nada suara tengik yang naik turun khas Melayu nya.       

"Saya bisa cetak semua foto hasil karya Mio di kantor saya, kalau dia berkenan."

Tawa paman Mio langsung berhenti, walau bibirnya masih menggertak seakan mengejek Altair, "Saya tidak peduli Mio belajar apa. Tapi dengan saya lihat pak Cik sering datang kesini; Apalagi hari ini, pak Cik antar Mio pulang malam-malam. Sampai saya harus nunggu di depan rumah sampai malam. Lalu orang-orang lain selain saya yang melihat bakal berpikir bagaimana ?"

Altair mendengus sengit, "Takut orang lain tidak berani lagi datang untuk menawar uang Panai karena saya?"

"Ya! Itu dia maksud saya! Orang Melayu mana yang mau kawin dengan anak perempuan yang ketahuan pulang malam-malam dengan laki-laki!"

Senyum Altair lenyap. Biasanya kesabarannya setinggi langit seluas samudra tapi kini lautan itu kering, menguap. Kesabarannya nyatanya memang tidak teruntuk untuk seluruh orang. Terutama untuk bajingan yang sengaja memanfaatkan situasi dan keponakannya seperti melelang barang dagangan, "Jadi intinya anda minta saya untuk tanggung jawab atas nama baik keluarga anda karena saya secara tidak sengaja membuat Mio jadi bahan gunjingan?"

"Betul itu. Orang Jawa itu memang pintar-pintar ya. "

"Oke. " Altair mengangguk singkat. Ia sudah sampai pada keputusan; Altair menyebut sejumlah nominal uang cukup besar. Uang itu tidak seberapa untuk Altair. Altair tidak peduli.   Buatnya, uang mudah di cari.

Kini tanpa malu-malu paman Mio tersenyum tamak. Bahagia. Puas. Seakan nominal uang yang di sebut Altair itulah yang ia tunggu-tunggu dan disaat yang sama di balik senyum menjijikan nya, bayangan Mio dan neneknya menari-nari di pelupuk mata Altair.

"Saya akan segera serahkan seluruh uang Panai." Ujar Altair dan perlahan bibirnya tersenyum dingin, "Tapi sebagai syaratnya saya tidak akan segan-segan ajukan tuntutan hukum kalau sampai Mio atau neneknya terluka lagi sekalipun hanya luka lecet. Setuju?"

        .   .   .   .   .   .   .   .   .   .   .   .   .

"Nak Mio bawa oleh-oleh apa dari pulau Jawa?" Tanya Bu Harto, istri dari pak Harto satpam Kilang, yang Mio cukup kenal sebagai tetangga dekat penginapannya yang berumur tiga puluh tahun lebih tua dari Mio. 

"Nggak bawa-bawa Bu." Mio menggelengkan kepala jujur dan langsung di balas tatapan tidak percaya oleh Bu Harto belum termasuk rentetan kalimat protes beliau yang seperti serbuan suara mesin bubutan kelapa. 

Mio diam saja sambil duduk menggerakkan kakinya seperti anak kecil bermain ayunan. Lagipula ia tidak bisa menghentikan suara Bu Harto seperti ia tidak bisa memindahkan hidungnya ke kaki. Seperti juga Mio tidak punya andil apa-apa untuk mengubah akar budaya; kebiasaan orang di pulaunya. Setiap pulang dari Jawa, semua orang yang Mio kenal selalu kembali membawa barang dua kali lipat dari saat berangkat. Oleh-oleh.  Cendramata, Sekalipun itu sekedar permen atau gula. Yang di pulau Serasan pun juga ada.  Tapi tetap beda, karena belinya di pulau Jawa. 

Tapi Mio tidak peduli, Suara Bu Harto hanya terus bergema sebagai latar belakang yang tak pernah benar-benar ia perhatikan. Seluruh perhatian Mio tertuju penuh pada neneknya. Di hadapan Mio, Nenek terbaring tidur di atas ranjang rumah sakit. Dalam ruang perawatan single bed dengan satu sofa yang tidak akan pernah bisa Mio bayar bila ia menggunakan kemampuan nya sendiri. 

Sekarang nenek terlihat lebih kurus, lebih pucat dari terakhir Mio ingat. Hanya tinggal tengkorak di balut kulit. Neneknya beberapa kali sadar sebelum ini. Gembira luar biasa saat melihat Mio pulang tapi juga langsung ambruk dalam waktu singkat. Nenek tidak bisa lama-lama duduk dalam kesadaran penuh di ranjang rumah sakit.

"Selama ini nenek selalu makan dan minum obat teratur kan?" Tanya Mio, memotong kalimat Bu Harto dengan pandangan mata kosong menatap ke arah neneknya. 

Bu Harto mendecakkan bibir, berhenti menggerutu untuk ikut memandang ke arah nenek, "Iyalah nak! Pak Altair sudah titip sama Saya.  Sama suami saya juga untuk jaga nenek.  Sampai saya di kasih Hp segala. Setiap hari minimal dua kali itu, saya selalu di telpon pak Altair nanyain kabar nenek, Pokoknya se rajin nak Mio tanya kabar nenek lewat saya. Tapi pak Altair itu kalau sudah nanya kabar super detil, rinci sekali, sampai saya kadang takut."

Tanpa sadar Mio tersenyum kecil, dalam ingatannya, sekalipun Altair bertubuh tegap, jangkung, berwibawa, baginya Altair tidak pernah benar-benar membuatnya takut, "Kenapa harus takut?"

Bu Harto menyipitkan mata, "Nak Mio apa nggak tau? Suami saya bilang jabatannya pak Altair di kilang itu tinggi loh. Beliau itu dihormati sekali disana. Saya saja sampai kaget waktu di tawari langsung untuk kerja jaga neneknya nak Mio."

"Pak Altair itu juga sampai nyewa kapal boat untuk bawa nenek ke sini. Juga nyiapin semua barang kebutuhan untuk saya selama saya jaga di rumah sakit.  Pokoknya, nak Mio itu beruntung sekali ada pak Altair. Coba kalau nggak ada. Paman dan bibinya nak Mio bisa apa! Bisa-bisa nenek malah mati terlantar. Kan sekarang saja, sudah terima beres, gitu aja tetap nggak pernah nanyain kabar nenek apalagi datang nengok!"

"Oh ya nak." Bisik Bu Harto mendadak suaranya yang dari awal meletup-letup ramai berubah mendesis sementara matanya terus menerus melirik kearah pintu masuk ruangan," Mumpung pak Altair belum balik kesini, masih terima telpon. Ibu kasih tau ya. Penting, nak kan sebentar lagi menikah. Inget ini; Mio harus punya anak yang banyak.  Makin banyak makin bagus! jadi pak Altair tidak bakal lirik perempuan lain. Kesempatan nggak datang dua kali. Apalagi keberuntungannya nak Mio seumur hidup sudah terpakai semua. Makanya, hati-hati. Jangan di sia-siakan.  Semua perawan di kampung sekarang rela gantiin posisi nak Mio, sekalipun misalnya harus jadi kuli ngaduk aspal dulu."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang