♦Chapter 4♦

617 87 42
                                    


Maafin Piyo yang lama sekali untuk upload chapter ini. Selain dibombardir tugas, Piyo juga lagi kena virus demendrakor #ampoon. Jadilah chapter ini keluar begitu lama dari yang seharusnya. Maafin dakuuu.

-----------------

Setelah melewati beberapa kali pemberhentian lampu merah, mobil itu akhirnya berbelok, memasuki area parkir bawah tanah rumah sakit, lantas berhenti, bersanding dengan jejeran mobil yang lain. Decakan kesal keluar dari pria bermata tajam itu, saat mendapati penumpangnya kerepotan untuk lepas dari sabuk pengaman. Tentu setelah membantu, barulah Insu keluar dari sana, diikuti seorang pemuda yang sibuk membenahi rambut juga pakaiannya. Akibatnya, Yoshi sedikit tertunda untuk menyusul Insu yang terlihat kesal.

"Berhenti membenahi pakaianmu! Kau datang kesini bukan untuk audisi," geram Insu.

Tanpa banyak waktu, keduanya kini sudah berada di lift. Tak ada desak-desakan karena hanya ada mereka disana. Yoshi sesekali bersenandung kecil, seraya menggoyang-goyangkan tangannya yang membawa bungkusan. Salah satu kebiasaannya, saat terdiam.

Sedang yang satunya, hanya memperhatikan. Bocah, batinnya.

Suara denting pendek mengalun, menandakan bahwa kotak besi itu telah membawa mereka pada lantai yang dituju. Tak berlama-lama, Insu lebih dulu keluar dan dibelakangnya seperti tadi, Yoshi mengikuti.

Si surai merah kebingungan. Sepanjang koridor yang mereka lewati ini, amat sangat sedikit orang yang berlalu lalang, tak seperti di lantai dasar tadi. Bahkan nyaris tak ada, kecuali hanya segelintir orang berjas hitam yang sedari tadi berdiri, lantas membungkuk sesaat begitu keduanya lewat.

"Tuan, kenapa disini sepi sekali?" Yoshi sudah tak lagi merasa takut pada Insu, sejak pria ini bersedia menemaninya membeli bungeoppang. "Aku bahkan tak mendengar suara orang lain selain langkah kita."

Insu melirik sekilas pada Yoshi. "Itulah gunanya menyewa satu lantai."

"Eh?"

Yoshi yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, membuat Insu menggeleng pelan. Ketika hendak mengatakan sesuatu, telepon genggamnya berbunyi, menginterupsi. Nama yang tertera disana, sempat membuatnya heran. Seorang Tanaka harusnya tak menghubunginya, kecuali ada sesuatu yang darurat.

"Pergilah terlebih dulu. Aku akan menyusul nanti."

Begitu saja Yoshi ditinggalkan. Membuat Si Surai Merah kebingungan. Beruntung, salah satu orang yang berjas hitam tadi, mau memberi tahu letak kamar Jinho.

"Kamar di ujung sana, ya..." gumamnya seraya mengeratkan genggaman. "Baiklah, Yoshi. Kau pasti bisa."

---

Kegugupan Yoshi menguap begitu saja, ketika Tuan Jinho menyambutnya dengan keramahan, sesaat setelah kakinya menapak di ruangan yang didominasi warna abu-abu dan putih tersebut. Dan siapa sangka, pria senja itu rupanya juga menyenangi buah tangan yang dibawanya.

"Oh, inikah yang namanya Yoshi?"

Setelah mengucapkan salam dan membungkuk sesaat, Yoshi diminta Jinho untuk mendekat kearah satu-satunya ranjang yang ada di ruangan tersebut.

"Aigoo." Jinho terperangah sesaat ketika Yoshi sedikit mendekat, sebelum akhirnya pria itu menunjuk pada kursi di dekat pembaringannya. "Ah, kemarilah. Jangan hanya berdiri di sana. Duduk, duduklah di sini."

Sedikit sungkan, meski akhirnya Yoshi menurut juga.

"Nah, begitu." Pria senja itu tersenyum puas, lalu mendadak mendelik melihat apa yang dibawa Yoshi. Sebuah kantong, dan berminyak! "Katakan padaku itu makanan manis!" Begitu anggukan didapat, Jinho tak bisa untuk tidak kegirangan. "Apakah itu untukku?"

CHERRY BOY || YOSHI || JunJiJaeShiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang