Memainkan isi soda di dalam kaleng, Arunika memilih diam dengan pikiran yang sekusut kabel earphone di dalam tas. Sudah hampir dua jam dia menunggu kedatangan Raden, namun sampai sekarang batang hidungnya tidak kelihatan.
Arunika marah? Tidak. Entah mengapa dia suka di sini. Dengan suasana tentram, angin bertiup lembut serta langit yang bersahabat membuatnya merasa tenang.
Sudah cukup baginya memikirkan bagaimana kerasnya hidup. Terkadang arus yang ia ikuti justru membawanya ke dasar yang sangat dalam. Butuh waktu lama untun naik ke permukaan.
Geovano, sekolah dan kepribadiannya. Tiga hal yang selalu berhasil membuatnya tidak bisa melakukan hal lain. Papa dan mama? Bahkan Arunika terlalu masa bodoh dengan mereka. Rasanya... Menjadi seperti ini saja lebih dari cukup.
Memainkan sisa soda, Arunika mendongak menatap dedaunan yang rimbun. Di bawah pohon tabebuya ini dia merasa dipeluk hangat oleh mentari.
"Geovano itu anak yang baik, kalau kamu berdoa kematian buat dia, mungkin Tuhan bakal ketawa. Tuhan juga tau apa yang harus Dia buat buat hamba-Nya. Tuhan bisa ambil kapan aja, tapi apa kamu udah siap kehilangan senyuman tanpa bebannya Geo?" Ucapan Dokter Aisyah terlintas di benaknya.
Rasanya Arunika ingin membuat Geovano berhenti merintih, berhenti meringkuk dan berhenti kejang untuk selamanya. Arunika sangat membencinya.
Merasakan getaran di saku celana, Arunika merogoh ponsel dan membaca satu pesan dari Raden.
Babu guru
|Maaf baru ngabarin. Gue nggak bisa ke sana karena ada rapat mendadak.
|Kalau lo marah, besok lo boleh nonjok gue semampusnya.
|Sekali lagi gue minta maaf.Arunika hanya membaca tanpa membalas. Tangannya meletakkan ponsel pada sisi bangku kosong di sebelahnya dan mulai menatap lurus ke depan lagi.
Taman ini memang jarang ramai, jika ramai kemungkinan hanya malam-malam tertentu. Bisa merasakan ketenangan untuk saat ini, Arunika merasa lebih dari cukup. Walau sekaleng soda dan roti cokelat keju menjadi teman kebisuannya, setidaknya mereka menjadi saksi bahwa Arunika bisa setenang air di danau sana.
Dari balik helm yang ia kenakan, Aldevaro hanya memantau dari radius lima puluh meter di belakang gadis itu. Duduk di atas motor tanpa melakukan apapun, Aldevaro sempat terenyuh kala gadis itu sempat melemparkan senyuman untuk anak kucing jalanan.
Rasanya... Setiap melihat wajah Arunika, ada getaran aneh yang menjalar di dadanya.
Setiap mendengar suara Arunika, seperti ada melodi yang menghayutkan jiwa di benaknya.
Setiap langkah, setiap tindakan, setiap makian yang terucap dari bibir bulatnya itu selalu berhasil membuat sosok Aldevaro bahagia.
Perasaan apa ini? Tapi, kenapa Aldevaro menyukai perasaan aneh ini?
Mengeluarkan ponsel, Aldevaro mulai memfoto gadis itu secara diam-diam. Dia tersenyum saat Tuhan mau berbaik hati padanya mengirimkan siny untuk Si Ranjau Darat agar menoleh ke samping. Maka hasil tangkapan gambar Aldevaro terlihat begitu sempurna.
Tidak ada alasan untuknya saat menyukai gadis bengis seperti Arunika. Justru dia ingin mendekap tubuh ringkihnya agar aman.
Arunika menghela napas. Bayangan saat masa kecilnya selalu bisa merenggut setengah dari semangatnya hari ini. Namun saat dia ingin melahap roti, gerakan bangku besi secara tiba-tiba membuatnya menoleh ke samping.
"Hai, Sayang."
"Najis," celetuk Arunika. Ia melahap roti dalam gigitan besar dan membiarkan Aldevaro cengengesan di sana.
Aldevaro tertawa. Dia memerhatikan sudut bibir Arunika yang terdapat cokelat. Tangannya gatal ingin mengusapnya, namun ia urungkan karena bahaya, dia tidak mau pulang dengan bahu yang kebiruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Person
Teen Fiction-Defenisi jahat itu seperti apa?- ISINYA ORANG STRESS SEMUA! Arunika Selia tidak akan pernah meninggalkan kebiasaan buruknya. Merokok, membolos dan membanting tubuh siapa saja yang sok tahu tentang hidupnya. Hingga di hari Kamis pada bulan Septembe...