12. BUNUH DIA!

826 136 7
                                    

Di ruangan kecil ini, dengan ditemani lampu temaram, Arunika menyalakan satu lilin. Duduk di bangku reot, matanya hanya tertuju pada api yang menari akibat tiupan angin dari jendela.

Ruangan kecil dan gelap itu adalah gudang perkakas rumah yang terpisah dari rumah utama. Tepatnya berada di sebelah kolam ikan nila dan semak belukar sebab tidak ada lagi yang mau menginjakkan kaki di sini. Sang pemilik sudah meninggal lima tahun lalu, hanya menyisakan perkakas tanaman yang kotor dan berdebu. Bahkan menjadi sarang tikus dan kecoa.

"Kalau cucu Oma nanti mau main tanaman, jangan lupa ambil peralatannya di gudang, ya.."

"Opa belikan kamu sepatu boots warna biru. Barangnya ada di gudang, ambil sendiri, ya, pinternya Opa."

Rindu yang membekas membuat dada Arunika semakin terasa begitu sesak. Di dunia ini dia hanya memiliki Opa, Oma, Geovano dan orang asing seperti sosok Ibu.
Arunika tidak meminta kepergian Opa dan Oma dengan cepat karena dia tahu tidak akan ada yang sudi mengurusnya dan Geovano.

Rasanya... Sesak bukan main. Tapi mengapa air matanya tidak keluar? Berlinang saja tidak. Jujur saja, Arunika ingin merasakan bagaimana sensasi lega saat sudah menangis seperti dulu. Tetapi kini tidak bisa. Hanya ada rasa sesak yang semakin menjadi dikala dia berusaha melupakan semuanya.

Angin semakin kencang bertiup di luar sana. Ponselnya juga sudah mati sejak setengah jam yang lalu. Selepas pulang dari rumah Raden, dia memilih mengunci diri pada gudang ini. Dia berjanji akan membersihkannya jika sempat. Karena selain markas, hanya ini tempat ternyaman untuk pulang, bukan sekedar singgah lalu pergi tanpa ada rasa nyaman yang tertinggal.

"Gini banget hidup gue," erangnya frustrasi. Kedua tangannya meremas rambutnya karena pusing bukan main. Ini benar-benar pusing karena kepalanya terkena tetesan air hujan saat pulang dari rumah anak mafia itu.

Oh, iya!

Arunika mengeluarkan sebilah pisau kecil dari saku celananya. Ini pemberian Raden sebelum dia meninggalkan rumah mewahnya itu.

"Hmmm enaknya dipake buat apa, ya?" Arunika bergumam dengan kedua bola mata yang menyusuri sudut ruangan.

Dia berdecak. "Nggak ada yang menarik," keluhnya. Ia melempar pisau tadi sampai menancap pada lemari kayu yang tua.

Arunika menyenderkan punggungnya pada bangku dengan kepala yang terkulai lemas. Dia tidak sabar menunggu hari esok. Kira-kira... Akan ada kejutan apa besok hari?

*****

Arunika melemparkan sepatunya asal. Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah setelah satu malaman berada di gudang. Wajahnya jelas masih menunjukkan raut mengantuk, rambut acak-acakan dan mata yang setengah terbuka.

Menapaki satu per satu anak tangga, suara papa menusuk telinga. "Kamu tuh bisanya nyusahin aja! Ibu lagi sakit, nggak ada yang mau ngurus kamu! Bisa mandiri nggak?!"

Mata Arunika langsung terbuka, kesadarannya dipaksa kembali setelah tahu jika papanya berada di kamar Geovano. Dengan napas yang memberat, Arunika berlari dan langsung masuk ke kamar adiknya.

"JANGAN ADA YANG BENTAK GEO SELAIN AKU!" teriak Arunika dan membuat satu lemparan bantal dari papa mengenai bingkai foto sampai jatuh dan pecah.

Papa menatap Arunika nyalang. "Inget pulang kamu?"

Arunika tidak menjawab. Matanya justru menatap Geovano yang tampak menahan takut. Dari wajah adiknya saja Arunika bisa menebak jika Geovano mendapatkan kekerasan. Jejak tamparan pada pipi kanan Geovano membuat kepala Arunika ingin meledak.

Bad Person Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang