Hujan tak kunjung berhenti. Suara isak tangis kehilangan masih jelas terdengar dari lantai bawah. Raungan itu menunjukkan betapa sakitnya kehilangan.
Arunika tidak tahan. Berdiam diri setelah pemakaman Geovano dilakukan siang tadi, dia memilih pergi ke kamar dari pada mendengarkan raungan wanita yang melahirkannya dan juga membuangnya itu.
Melangkah menuruni satu per satu anak tangga menuju ruang keluarga, Arunika menatap mamanya datar. "Berisik tau, Ma."
Mama menoleh cepat. Wajahnya yang sembab menatap Arunika nyalang bukan main. "Kamu tau apa artinya kehilangan darah daging sendiri?!" bentaknya.
"Setelah mama buang kami, mama masing anggap darah daging mama?"
"Terus apa? Apa kamu keluar dari pohon pisang?!"
"Enggak."
Papa yang semula menangis tanpa suara refleks tertawa. Entahlah, selama ini ia memang sering bertengkar dengan putri sulungnya, hanya saja, saat anaknya itu beradu mulut dengan mantan istrinya membuatnya merasa senang. Bukan senang bahagia karena melihat keindahan antara ibu dan anak. Melainkan senang karena pada akhirnya mantan istrinya itu tahu bagaimana watak keras kepala Arunika.
Mama berdiri di depan Arunika. Dengan bibir bergetar, dia berkata, "Kamu anak durhaka, Arunika."
"Mama nggak pernah ngajar-"
"Stop, bilang kalau papa sama mama nggak pernah ngajarin attitude samaku, Ma." Arunika menyelipkan anak rambutnya ke sela telinga. Dadanya sesak. "Mama sendiri yang ninggalin aku waktu TK, dan ninggalin Geovano yang baru selesai MPASI."
Mama terdiam. Isakan tangisnya semakin terdengar pilu. Anaknya yang dulu ia telantarkan sekarang sudah dewasa dengan pola pikir yang begitu toxic. Melihat sekujur tubuh anaknya, ia merasa hancur.
Selama itu kah ia pergi meninggalkan Arunika dan Geovano?
Selama itu kah ia pergi setelah mengecup kening Arunika sebelum pergi ke pulau Sulawesi dengan dalil rindu orang tua?
Selama itu kah ia meninggalkan Geovano yang memiliki penyakit epilepsi sampai anak malang itu meninggal karena suhu tubuh yang tinggi dibarengi kejang tak berujung? Sekali berujung, nyawa anak itu justru hilang.
Ruangan pilu itu hanya diisi isakan tangis mama dengan segala penyesalan yang ada. Bahkan, Arunika sendiri merasa dadanya ditekan oleh ribuan gajah yang membuatnya merasa sesak bukan main.
Dalam suasana itu, semua terkejut saat Arunika menumpukan tubuhnya dengan lutut di atas lantai. Wajahnya begitu datar, tapi tatapannya begitu memilukan.
Arunika tersenyum getir. Matanya berkaca-kaca menatap kedua orang tuanya. "Harus ada yang pergi baru kaian sadar kalau kami," Arunika menunjuk dirinya sendiri, "KALAU KAMI BERDUA BENTUK DARI KEEGOISAN KALIAN! HARUS ADEK AKU YANG PERGI BARU MAMA MAU LIHAT KAMI DI SINI SELAMA BERTAHUN-TAHUN?!"
Semuanya terdiam. Mama dan papa mengalihkan pandangan dari Arunika yang sedang mengamuk.
"Harus..." Arunika memukul kepalanya sendiri dan membuat mama berteriak.
"Apa aku harus berlutut gini supaya papa sama mama tau keadaan Geovano selama ini?!" teriak Arunika kesetanan dengan jatuhnya air mata untuk pertama kali setelah Papanya menikah dan Mamanya mengutuknya mandul.
Arunika... Menangis.
Ibu yang sedari tadi diam tidak sanggup melihat anak perempuan yang selama ini ia urus menangis dengan cara berlutut di atas lantai marmer yang dingin. Dipeluknya Arunika seerat-eratnya sembari tangan yang mengusap surai hitam legam gadis malang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Person
Roman pour Adolescents-Defenisi jahat itu seperti apa?- ISINYA ORANG STRESS SEMUA! Arunika Selia tidak akan pernah meninggalkan kebiasaan buruknya. Merokok, membolos dan membanting tubuh siapa saja yang sok tahu tentang hidupnya. Hingga di hari Kamis pada bulan Septembe...