3. Cafe Al-Hubbu

115K 13.1K 573
                                    

Keesokan harinya.

Hawa menjalani hari Senin dengan hati yang berat. Gadis itu menenteng tas hitam kecil berisi buku-buku, ah tidak. Lebih tepatnya, 99% tas yang Hawa bawa berisi make-up baru sisanya alat tulis. Kakinya melangkah, menelusuri Universitas Variasa dengan mata sayu, semalam ia tidak bisa tidur.

Aliza terus-menerus mengomeli dirinya tiada henti. Semalam, ia menjahili Rahsya, Hawa membuatkan teh hijau dengan menaruh 5 sendok garam di dalamnya. Ternyata, Hawa masih berusaha menyingkirkan Rahsya agar tidak di bimbing untuk mengaji. Kali ini pemuda itu menjadi korban, dan hal itu membuat Hanan-Aliza marah besar.

"Hawa!"

Seorang gadis dengan pakaian serba minim, berlari tergesa-gesa menuju ke arah Hawa. Rambut Curly panjangnya ter ombang-ambing, membuat para mahasiswa terpesona. Azarine Ramlela sahabat Hawa, mereka bagaikan kecebong dan katak. Tidak terpisahkan, sama-sama biadap.

Namun, Azarine merasa heran. Tidak seperti biasa, penampilan Hawa terlihat agak tertutup. Gadis itu memakai baju panjang kebesaran, dengan di padukan celana kulot berwarna hitam. Rambutnya juga tidak di tata dengan sedemikian rupa, sungguh Hawa terlihat seperti orang yang berbeda.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?!" Hawa berbicara dengan nada sedikit sewot, ia tidak suka di tatap dengan tatapan aneh.

Azarine tertawa keras, menyadari menjadi pusat perhatian. Gadis itu berdehem pelan, lalu merangkul bahu Hawa seperti biasa. "Anjir Hawa, lo ngapain pake baju kayak gini?" Bisik Azarine agar tidak ada yang mendengar, percakapan mereka.

Hawa mendengus kesal. "Biasa lah, perkara guru mengaji."

Mungkin sudah ada lebih dari 10 Ustadz yang ia jahili hingga terkena mental. Terkadang, Aliza merasa sedih. Hawa tumbuh menjadi gadis yang tidak punya rasa malu, gadis itu senang sekali memakai pakaian minim. Hanan juga terkadang merasa sangat malu kepada Kyai Husein, dan Nyai Hanum.

"Saran gue, terima aja dulu. Gue emang nakal, baju masih seksi aduhai. Tapi agama tetep nomor satu loh, ya walaupun kita beda sih." Walaupun berbeda keyakinan dengan Hawa, mereka tetap bersahabat dengan baik.

Selain satu frekuensi, kaya raya, mereka juga satu motto hidup. Hawa, si bawel, jahil, tingkahnya terkadang membuat orang lain pusing, tapi tidak bisa di pungkiri bahwa ia sangat cantik. Sedangkan Azarine, matanya sipit, kulitnya seputih susu, di tambah badan yang ramping dan tinggi.

"Udah ah, kita jajan yuk, ke cafe sebrang kampus. Itu cafe katanya baru di resmikan, lo harus datang." Ajakan dari Azarine, agar suasana di antara mereka tidak menjadi awkard.

Hawa menggeleng lesu. "Gue cuman punya duit dua rebu, itupun buat ongkos balik. Gara-gara jailin Ustadz Rahsya gue gak di kasih duit, mana ATM gue di sita huaaa, eh tapi Ustadz Rahsya ganteng njirt." Ia baru mengingat, belum menceritakan tentang Rahsya kepada Azarine.

"Emangnya kenapa, palingan ganteng-ganteng pada umumnya."

"Dia putih banget, kayak lo. Terus ya, tatapan matanya loh. Pas awal ketemu, masa dia pegang kepala gue!" Keantusiasan Hawa membuat Azarine heran, biasanya gadis itu akan menceritakan para Ustadz yang berusaha mengajari dirinya mengaji dengan nada sebal.

"Lo suka ya sama Ustad Rah—Rah apa sih anjir, oh iya Rahsya!"

"Pelan-pelan bego." Maki Hawa, Azarine memang mempunyai suara seperti toa.

Garis Takdir Untuk Hawa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang