11. Hukuman

95.2K 12.3K 1.1K
                                    

Keesokan harinya.

"Azrina, tunggu woi!" Hawa berlari dengan agak sedikit kesusahan, ia mengangkat gamisnya dengan tinggi. Hingga membuat kedua kulit kakinya terlihat begitu jelas.

"Astagfirullah mba, turunin toh gamisnya." Azrina menarik lembut ujung gamis Hawa.

Hari ini gadis itu sedang belajar mengenakan gamis, ia memakai kerudung pashmina berwana hitam di padukan dengan gamis berwarna pink dusty. Aliza memang pecinta warna pink. Jadi lah, baju yang Hawa punya berwana pink cerah, pink tua, pink gelap. Seputar pink saja.

"Gue gak suka gamis ini! Gue boleh minjem rok lo gak? Plis deh, sumpah ya gaenak banget." Hawa mengeluh, berjalan saja rasanya seperti sedang menyapu jalanan.

"Mba, maaf toh ya. Bukannya saya gak mau, tapi semua rok saya besar. Tubuh mba Hawa kurus toh, jadi kalau di pake sama mba yang ada melorot." Di antara Kiara, Azrina, Sofia, dan juga Aghnia hanya Hawa yang pendek, dan kecil.

"Setan lo, secara gak langsung ngatain gue boncel kan?"

Azrina menunduk. "Ngapunten, mba saya gak bermaksud."

"Ah udah lah, Kia mau kemana lo?"

"Mba, kami ada piket di ndalem hari ini." Sahut Kiara dengan ramah.

Ndalem, mendengar kata itu Hawa dengan refleks menepuk jidat lebarnya. Kemarin ia mengingkari syarat dari Rahsya.

"O-h yaudah sana, gue mau pergi bye!" Sebelum di ajak pergi ke ndalem, Hawa berlari meninggalkan Kiara dan juga Azrina.

"Sial, gue lupa. Kemarin kan di tungguin di ndalem, bodoamat deh. Aduh, kok bisa lupa ya?" Seperti biasa, Hawa selalu berceloteh tanpa melihat jalanan.

Dugh

"Bunda!" Refleks Hawa berteriak kesakitan. Kaki gadis itu tersandung, tubuh Hawa jatuh tersungkur mencium tanah.

"Ikan hiu makan teri, hari ini kok gini amat si!" Seru Hawa, ia berusaha berdiri.

"Eh lo gapapa?" Seorang pemuda tiba-tiba saja datang.

"Nauzan?" Gumam Hawa dengan senyuman yang mengembang.

Rasa sakit saat jatuh tadi tiba-tiba saja menghilang. Hawa berdiri, menepuk-nepuk gamis milik Aliza yang kotor dengan pelan. Tak henti-hentinya ia menyengir, akhirnya setelah hari itu ia bisa bertemu dengan Nauzan kembali.

"Nauzan, gue nyariin lo!"

Pemuda itu terkekeh ringan. "Gue Neraca, bukan Nauzan." Pemuda itu menyentuh kepala Hawa dengan lembut.

"Hah?"

"Gini, kayaknya lo kenal kembaran gue deh. Btw yang lo kenal itu kakak kembar gue Nauzan, kebetulan gue adiknya. Tapi kita beda, gue gak se Soleh Nauzan." Cerita Neraca.

Hawa mengerjabkan kedua matanya dengan lucu. "Hah?" Hanya kata itu lah yang keluar dari mulutnya.

"Gue Neraca, kembaran Nauzan." Pemuda itu mengulurkan tangan kanannya.

"Oh, kembaran. Gila pantesan mirip, gue Hawa!" Hawa membalas uluran tangan Neraca dengan senyuman yang mengembang, membuat kedua matanya sedikit menyipit.

"Lepaskan tangan Hawa!"

Rahsya menepis tangan Neraca dengan sedikit kasar. Menatap pemuda itu dengan tatapan tajam, emosi Rahsya terpancing saat melihat istrinya berjabatan tangan dengan seorang lelaki yang bukan mahram.

"Kalem dong anjir, songong banget lo!" Maki Necara.

Pemuda itu memang belum lama berada di pesantren ini, itu lah sebabnya ia tidak tahu. Bahwa Rahsya anak dari kyai Husein, dan Nyai Hanum.

Garis Takdir Untuk Hawa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang