Alvin dan Aliya

1.5K 34 7
                                    

"Mamah gak bisa biayain kamu buat sekolah di sekolahan yang sama dengan adik kamu. Kamu tahu sendiri, kan? Mamah gak kerja, Sayang. Jadi, Mamah harap kamu terima, ya, keputusan Mamah untuk menyekolahkan kamu di pesantren. Apalagi, di pesantren yang Mamah pilih ini tidak dipungut biaya, kualitasnya pun bagus sekali, padahal pesantrennya masih baru lho."

"Mamah tinggal ngasih kamu uang jajan aja tiap bulan, insyaallah kalau soal uang jajan, Mamah masih bisa usahain," lanjut Farah yang masih terus meyakinkan putranya.

Alvin duduk di dekat jendela kamarnya, sembari menatap langit malam yang berwarna kelam berhiaskan bintang-bintang yang berkelap-kelip. Ia masih merenungkan permintaan mamahnya yang paling menyayangi dirinya di rumah tersebut untuk masuk ke pesantren.

Sekilas, Alvin melirik brosur pesantren yang ia pegang di tangannya. Helaan napas pun terembus berat. Memang, tidak bisa dimungkiri, pesantren tersebut, yang sekarang membuka pendaftaran untuk angkatan ketiga itu sudah banyak meraih prestasi. Fasilitasnya pun tergolong bagus untuk pesantren baru tersebut. Sebab, katanya pesantren tersebut didirikan oleh sebuah yayasan besar yang sudah memiliki donatur-donatur tetap. Sehingga, tak heran untuk program studi, fasilitas, dan biaya mondok di sana menjadi gratis.

Namun, hati Alvin masih berat sekali untuk menerimanya.

Alvin sangat menyukai pelajaran IPA, dan sejak lama Alvin sangat menginginkan untuk bisa sekolah di sekolahan yang adiknya tempati. Sekolahan elit yang terdapat jenjang TK hingga SMA. Sekolahan yang sangat mendukung kemampuan siswa-siswinya untuk menekuni bidang sains. Bahkan, banyak lulusan sekolah tersebut yang menjadi ahli di bidang teknologi, laboratorium, dan lain sebagainya.

Ya, itu semua sekarang hanya bisa menjadi sebatas impian saja bagi Alvin. Seharusnya, sejak awal, Alvin tidak usah banyak bermimpi, karena mustahil sekali impiannya itu bisa terwujud. Secara, sejak kecil saja ia sudah tidak disukai oleh orang-orang di rumahnya. Tepatnya, setelah ibunya melahirkan anak dari ayah tirinya itu, Arsen kemudian Anaya.

"Pah, Alvin nanti SMAnya di sekolah yang sama dengan Arsen dan Naya, ya? Boleh, Pah?" tanya Alvin pada makan malam tersebut, karena pagi tadi Alvin sudah meraih kelulusan di SMPnya.

"Jangan ngada-ngada, ya, kamu," Omah Ranti lantas berkomentar, "Kalau kamu mau sekolah di sana, minta uangnya sana sama bapak kandung kamu!"

Hati Alvin langsung teriris mendengarnya.

Sudah mereka semua ketahui, kalau ayah kandung Alvin menceraikan Farah karena ia ingin menikahi perempuan yang menjadi orang ketiga di pernikahan itu. Sebab, landasan pernikahan mereka juga bukan karena cinta, tapi perjodohan. Sehingga, ayah Alvin pun tak tanggung-tanggung untuk meninggalkan Farah yang kala itu sedang mengandung putra kandungnya sendiri-usia kandungannya memasuki bulan kedua.

Bagaimana mungkin, seorang ayah yang telah dengan sengaja meninggalkannya, akan memberi uang ketika ia meminta? Ah, jangankan berpikir untuk memintanya, keberadaannya saja Alvin tidak tahu.

"Atau, gak usah sekolah aja sekalian!" tambah Davin, ayah tirinya, setajam silet.

Mamahnya hanya bisa menatap Alvin dengan tatapan iba, ia tidak berdaya untuk menghentikan mertua dan suaminya yang selalu memperlakukan Alvin seperti itu.

Sedangkan, Arsen dan Naya, hanya bisa diam saja mendengar semua itu, mereka tidak pernah terlalu ikut campur jika menyangkut Alvin. Sebab, Omah Ranti selalu mewanti-wanti mereka agar tidak mengacuhkan apa pun tentang Alvin, meski sekadar menyapa.

Bagaimana pun, bagi Omah Ranti, anak tiri tidak akan pernah mendapatkan posisi sebagaimana anak kandung. Itu juga yang selalu Omah racuni ke dalam pikiran Davin, setelah Davin dan Farah memiliki anak.

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang