[Name] PoV
.
.
.
"[Name], coba buka maskermu." pinta Amu saat kami sudah sampai di UKS.Aku menggeleng pelan, rasanya memalukan jika sampai ada yang melihat lukaku ini.
"Tadi katanya mau ku obatin kan? Yaudah buka dulu maskernya, ya?" bujuknya.
Sepertinya aku tidak punya pilihan lain ya? Karena kalau aku menolak, bisa saja dia memanggil Sho atau yang lain kan?
Aku yang sudah pasrah pun membuka masker ku.
"Astaghfirullah... Ini Ayah kamu yang pukulin?" tanya Amu setelah aku membuka masker ku.
Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukkan.
"Bentar, aku bawa obatnya dulu." ucap Amu.
Aku hanya terdiam tanpa ada niatan untuk menyahuti ucapannya.
Tidak lama kemudian Amu kembali dengan membawa kotak P3K(?) di tangannya. Ia lalu duduk di sampingku dan membuka kotak itu.
"Kalau sakit tahan aja ya..." katanya.
Sesuai dengan perkataannya, rasa sakit langsung muncul ketika Amu mulai mengobati luka memar yang ada di wajahku. Memang aku sudah terbiasa dengan luka semacam ini, tapi ini pertama kalinya lukaku diobati. Karena selama ini aku selalu membiarkan lukaku sembuh dengan sendirinya tanpa ada niat untuk mengobati.
Setelah selesai mengobati luka memar yang ada di wajahku, Amu beralih mengobati luka sayatan di leherku dengan hati-hati. Ia nampak meringis seolah ikut merasakan rasa perih yang ku rasakan.
"Duh, pasti sakit ya... Maaf, tapi tahan aja ya? Aku juga ini udah pelan-pelan kok ngobatinnya." katanya.
Aku hanya mengangguk sembari berusaha menahan rintihan saat kapas yang sudah diberi semacam cairan(?) itu menyentuh lukaku.
Setelah beberapa saat, Amu selesai mengobati luka sayatan yang ada pada leherku dan membalutnya dengan perban.
"Nah, selesai! Sekarang buka bajumu." pintanya dengan enteng.
"Hah?" beoku sambil berharap dalam hati semoga yang tadi itu aku hanya salah dengar.
"Buka bajumu." ucapnya ulang menegaskan kalau tadi aku tidak salah dengar.
"Eh? T-ta-tapi kan--"
Ucapanku terpotong oleh ucapan Amu, "Aku ngerti sih kalau kamu malu kalau harus buka baju, tapi luka yang ada di punggungmu harus di obatin juga."
"T-tapi di punggungku gak ada luka kok!" kataku setengah panik namun tetap berusaha untuk terdengar tetap tenang.
"Pasti bohong kan? Udah gak perlu ditutup-tutupin lagi, aku udah tau semuanya kok. Dan setelah denger kamu sering dicambuk sama Ayahmu, ditambah dengan kamu yang keliatan kesakitan pas punggungmu ditepuk Upi, aku jadi yakin kalau di punggungmu ada luka juga." jelasnya.
Ah... Sial, kenapa harus ketahuan sih? Kenapa juga Amu harus peka kalau soal ini?
"T-tapi gak perlu diobatin juga gapapa kok! Lagian lukanya juga cuma luka kecil, jadi gak sakit sama sekali!" ucapku dengan kelabakan.
Amu menghela nafasnya, "[Name]... Tadi kamu bilang mau ku obatin lukanya kan? Jadi nurut aja ya? Atau kamu mau aku panggilin Sho atau yang lain buat ngobatin lukamu?"
"J-jangan!" seruku.
Dengan setengah terpaksa, aku membuka hoodie [fav color]ku lalu membuka seragamku hingga terlihatlah luka cambukan yang tercetak dengan jelas di punggungku serta di hampir seluruh tubuhku.
Setelah ku perhatikan... Kok lukanya jadi terlihat agak seram ya? Pantas saja rasanya sakit.
"Tuh kan bener ada luka! Lagian apanya yang luka kecil coba? Pantesan aja kamu kesakitan pas Upi tepuk punggungmu! Terus kenapa pula lukanya malah ditutup-tutupin? Harusnya kalau ada luka tuh lukanya diobatin, bukan malah ditutup-tutupin kayak gini! Untungnya aja gak sampai infeksi kan!" omel Amu sambil tetap mengobati luka-lukaku dengan lembut dan telaten--walaupun rasanya masih perih sih...
Rasanya sudah lama juga aku tidak diomeli seperti ini. Dulu biasanya Kakak yang mengomeliku disaat aku susah makan. Kalau Ibu... Beliau selalu bersikap lembut padaku dan Kakak, jadi aku belum pernah diomeli oleh Ibu sekalipun aku melakukan kesalahan.
Aku jadi penasaran, apa kini mereka sudah tenang di alam sana ya...? Ku harap begitu. Karena jika aku sudah tidak bisa lagi bersama dengan mereka seperti ini, yang bisa ku lakukan hanyalah mendoakan yang terbaik untuk mereka.
Ibu... Kakak... Kalian jahat. Kenapa kalian pergi secepat ini dan meninggalkanku dengan kedua orang itu di rumah? Tahukah kalian jika selama ini aku merasa tersiksa di rumah itu?
"[Name]?" panggil Amu yang membuatku kembali tersadar dari lamunanku.
"Iya?" sahut ku.
"Luka-lukanya udah selesai ku obatin dan ku perban." lapornya padaku.
"Oh... Iya, makasih." kataku lalu kembali memakai seragamku.
"[Name], kalau boleh... Aku mau lanjutin ucapanku yang di taman tadi." ucapnya dengan hati-hati.
"Soal Sho, ya?" tebak ku.
Amu mengangguk, "Percaya deh sama aku, Sho gak mungkin kasih tau soal rahasia kamu ke mereka. Emang iya, Sho udah kasih tau itu ke kami berempat, tapi itu karena dia percaya kalau kami masih mau jadi temenmu walaupun kami udah tau soal itu. Dan soal kenapa anak-anak di klub drama udah tau rahasiamu juga itu kami juga bingung. Tapi percaya sama aku, Sho gak mungkin sebarin itu ke mereka. Kamu mau kan percaya sama aku? Sekalipun kalau nanti terbukti emang Sho yang sebarin itu, aku, Upi, Kiki, dan Toro gak bakal diem aja. Kami bakal ada di pihak kamu dan marahin Sho."
Mendengar penjelasan dari Amu membuat pikiranku menjadi lebih terbuka. Berbicara soal bukti, memang tidak ada bukti kalau bukan Sho yang membocorkan itu, tapi juga tak dapat ku pungkiri kalau memang tidak ada bukti yang menjelaskan kalau Sho memang pelakunya.
Dengan kata lain, aku sudah curiga bahkan menuduh Sho tanpa alasan yang jelas.
Sepertinya dengan begini, aku yang harus minta maaf pada Sho ya?
"Makasih Amu. Sekarang, boleh aku ngomong sama Sho? Ada yang mau aku omongin sama dia." kataku.
"Boleh sih... Tapi, kamu gak akan marah sama Sho kan?" tanya Amu untuk memastikan.
Aku tersenyum simpul, "Kalau itu gimana nanti aja. Kamu mau anterin aku ke tempatnya Sho kan?"
Amu tampak bimbang. Sepertinya ia mengira kalau aku akan semakin marah pada Sho ya? Tapi biarlah, tidak masalah kalau aku sedikit menjahili nya kan?
Amu setuju untuk mengantarkanku ke tempat dimana Sho mungkin berada. Dan ternyata dia membawaku ke taman yang dulunya menjadi markas rahasia kami berdua. Tanpa ku sangka, mereka berempat masih menunggu kami di tempat itu.
Sho yang menyadari keberadaanku langsung berlari kecil menghampiriku--begitu pula dengan Upi, Kiki, dan Toro.
"[Name], aku minta maaf, tapi beneran bukan aku yang sebarin soal itu ke mereka." ucap Sho.
"Iya [Name], menurutku juga gak mungkin Sho kasih tau itu ke anak-anak klub drama. Lagian kalau emang Sho yang udah sebarin, seharusnya anak-anak kelasku juga udah pada tau kan? Tapi ini yang tau cuma anak-anak klub drama aja." tutur Kiki ikut membela Sho.
"[Name], plis, percaya sama kita ya?" bujuk Upi.
Setelah mendengarnya entah mengapa aku malah merasa bersalah.
"Justru aku kesini karena mau minta maaf. Maaf ya Sho aku udah menuduh kamu sembarangan. Padahal kan gak ada bukti kalau emang kamu yang sebarin." tutur ku.
"Huaa [Name]!" seru Amu dan Upi yang langsung memelukku.
Aku sedikit meringis saat rasa sakit itu kembali muncul. Kiki dan Toro yang peka akan hal itu langsung menarik Amu dan Upi untuk menjauh.
"Jangan peluk-peluk [Name] dulu. Lukanya masih belum sembuh." ucap Toro.
Saat aku melihat kearah Sho, dia menatapku dengan senyuman tulusnya, "Iya gapapa."
Huft... Sepertinya dengan begini aku bisa merasa tenang ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Bond (WEE!!! x Reader)
Fiksi PenggemarKejadian buruk yang terjadi di masa kecil membuatnya tak lagi mempercayai adanya ikatan. Penindasan, juga kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri membuatnya tumbuh menjadi gadis tertutup dan lebih memilih untuk menghindari adanya ikatan de...