Malam semuanya, kalian baca part ini jam berapa?
Dua emoji untuk part ini??
Selamat membaca❤️❤️
***
24. Rumah Hangat Pak Sapto
***
Keesokan pagi, Juandra terbangun dari tidur nyenyaknya. Ada satu hal yang jadi pertanyaan, kira-kira siapa yang memindahkan dirinya ke kamar? Padahal seingatnya, dia tertidur di atas meja belajar di kamar Jerdian karena saking mengantuknya. Tak ingin ambil pusing, cowok itu buru-buru pergi ke kamar mandi, bersiap untuk pergi sekolah. Setelah rampung dan di rasa seragamnya sudah melekat lengkap di tubuhnya, Juandra langsung keluar kamar untuk menuju ruang makan, namun langkahnya terhenti ketika ada suara ayah dan Jerdian yang terdengar saling bertengkar. Alih-alih memilih untuk menghampiri keduanya, Juandra justru lebih memilih bersembunyi di tembok agar lebih leluasa menguping pembicaraan antara ayah dan anak itu.
"Ayah nggak lagi beda-bedain kalian berdua, ayah cuma mau kamu itu jadi anak yang pinter. Ayah pengen kamu bisa sukses nantinya."
"Setiap orang punya definisi suksesnya masing-masing, Yah," sela Jerdian sambil bangkit dari posisi duduknya. Terlihat wajah Jerdian yang mulai memerah, mencoba menahan diri agar emosinya tidak meledak-ledak.
"Kamu kira, semua tulisan kamu bisa buat beli rumah? Bisa kasih kehidupan yang layak buat kamu? Kamu kira dengan berantem sama orang, bisa bikin kamu kaya? NGGAK, JERDIAN!"
"Ayah nilai semua pake uang, dan Jerdian nggak kayak ayah." Plak. Juandra dibuat terbengong, melihat tangan ayahnya yang sudah mendarat mulus di pipi kiri sang kembaran.
"Kamu bisa ngomong kayak begini, karena kamu nggak pernah ngerasain susah. Semua ini, mulai dari rumah, mobil, motor, ayah yang beli pake uang, ayah yang kerja keras buat dapetin itu. Kamu kira itu di bayar pake lukisan sama tulisan sampah itu, hah!" Nada bicara ayah terdengar semakin tinggi, menandakan kalau emosinya sudah berada di puncak, sementara Jerdian hanya diam sambil memegangi pipinya yang terasa panas. Namun, panas di pipinya tak setara dengan luka yang ada di hatinya. Katakanlah Jerdian terlalu naif karna tak mementingkan uang, namun bukan itu poin yang ingin ia bicarakan pada sang ayah.
Entah kalimat terakhir apa yang Jerdian ucapkan, karena tak terdengar jelas di telinga Juandra, yang pasti cowok itu sudah melenggang pergi meninggalkan sang ayah. Dengan langkah yang pelan, Juandra menghampiri sang ayah.
"Yah, aku berangkat dulu," kata Juandra sembari menyalami tangan sang ayah. "Iya, maaf ya, ayah nggak sempet beli sarapan tadi."
"Nggak apa-apa, nanti Juandra sarapan di kantin sekolah aja,"
"Yaudah, kamu sekolah yang bener." Juandra terenyuh ketika merasakan tangan ayahnya mengusap surai hitam miliknya.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Juandra sibuk berpikir dan matanya meneliti setiap pinggir jalan. Ia tiba-tiba berpikir, kembarannya itu naik apa untuk pergi ke sekolahnya. Kalaupun berjalan kaki, seharusnya kan belum jauh, namun sejak tadi Juandra tak menemukan sosok jangkung yang dia maksud. Bahkan selama hampir menempuh waktu dua puluh lima menit perjalanan sampai akhirnya dia tiba di sekolah pun, Juandra masih tak bisa menemukan kembarannya.
Sehabis mencari parkiran untuk mobilnya, Juandra buru-buru pergi ke kelas Jerdian, namun teman sekelasnya bilang jika kembarannya itu belum tiba. Perasaannya mulai tidak enak, pikirannya langsung muncul banyak spekulasi, jangan lupakan bahwa mereka berdua itu kembar yang memiliki ikatan batin. Apapun yang Jerdian rasakan, pasti Juandra juga bisa merasakan sekecil apapun itu rasanya. Sampai suara ribut-ribut terdengar dari lapangan, membuat banyak murid yang bergerombol, seolah itu adalah partunjukan yang apik. Awalnya Juandra tak berminat untuk menonton, namun teriakan lantang seseorang yang menyebut sebuah nama, mengusik pendengarannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Sudah Terbit)
Genç KurguJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...