Seperti apa rasanya berdebar ketika kamu melihat seseorang yang disukai?
Kapan terakhir kali jantung mu berdebar sangat hebat, hanya karena melihat orang yang awalnya biasa saja perlahan berubah menjadi sangat menarik untuk diperhatikan?
Karena sepertinya Winda mulai memerhatikan setiap gerak-gerik Arifin lebih intens, sebelumnya dia bahkan tak peduli pada yang lelaki itu lakukan namun sekarang entah mengapa Winda sangat ingin tahu apa yang ia kerjakan.
Pekerjaan nya tidak terasa penting lagi karena Arifin mengusik ketenangan hatinya, gadis itu menatap punggung lebar Arifin yang menghilang membelok masuk ke dapur lalu keluar membawa segelas kopi panas. Dia menyelipkan pena di daun telinga nya, kacamatanya bertengger sempurna di batang hidung yang mancung, matanya bergerak teratur membaca deretan kalimat yang tercetak pada kertas ditangan nya.
Winda mencuri pandang ke arahnya, tidak khawatir akan tertangkap basah bila ketahuan karena ia cuma ingin memastikan jika debar hati ini memang berasal dari orang yang selama beberapa tahun ini menjadi partner in crime nya.
Jujur, mempunyai sahabat seperti Arifin yang serba bisa diandalkan dalam setiap keadaan sangat membantu nya. Winda yang hanya anak manja berubah menjadi lebih mandiri setelah berteman baik dengan Arifin, secara tidak langsung lelaki itu banyak mengajarkan hal-hal baru padanya. Kalau dirumah dia biasa merengek ketika meminta sesuatu, maka bersama Arifin dia harus berusaha sendiri mendapatkan keinginan nya.
Disela kesibukan mereka sebagai karyawan, kadang Arifin masih menyempatkan diri untuk mengajak nya jalan-jalan keluar dengan alasan makan siang. Jarang memang mereka jalan keluar berdua saja, karena keseringan Rani juga ikut tapi semua itu terasa biasa saja karena Arifin bersikap adil pada keduanya. Ia perhatian dan peduli pada semua orang, kalau saja Winda tidak diberi peringatan sejak awal bisa jadi ia telah terpesona pada kehangatan yang pria itu berikan.
Arifin sangat pandai mengola sikap dan tindakan nya untuk mencuri hati para gadis, para wanita tidak peduli dengan fisik disaat hati kalian tulus mencintai. Uang bisa dicari bersama tapi cinta, tidak bisa hanya melibatkan satu hati saja. Winda naif sekali berpikir begitu, tapi memang benar adanya.
Dia bukan orang susah, begitu pun Arifin. Yang mereka cari bukan lagi uang melainkan rasa nyaman dari pasangan, meski sekarang masih terlalu muda untuk memikirkan awalan baru yaitu sebuah pernikahan.
Sungguh pemikiran ini sudah jauh sekali dari niat awalnya, Winda menggeleng berkali-kali menepis semua pemikiran tak masuk akal dari kepala cantiknya.
Arifin yang kebetulan sudah berdiri dihadapan gadis itu, mengernyit kebingungan. Ia menahan kedua sisi kepala Winda lalu memaksa perempuan itu agar menatapnya.
"Kenape lo jablay? Goyang bang jali lo, kerja sono! Malah ngelamun", suara Arifin menyadarkan semua imajinasi Winda yang semakin liar. Ia melepaskan pegangan tangan Arifin dari kepalanya, tinggi lelaki ini sangat menjulang sekali dan Winda merasa bahwa Arifin jauh lebih tinggi dari bos nya atau bun abang nya.
"Berisik lo gendut, ngapain sih ganggu gue?" Sahutnya tak suka di ganggu, lebih tepatnya Winda merasa jantung nya kembali berdebar keras karena sentuhan yang berasal dari tangan Arifin. Terasa aneh tapi membuatnya kecanduan, kulit pipinya memerah karena perasaan bodoh itu. Arifin menyadarinya, ia menaikkan sebelah alis menebak-nebak isi kepala gadis didepan nya.
"Lo bayangin apa sampe pipi merah begitu? Melamun jorok lu ya, dih ketagihan lo kan ngayalin terong ungu", balas Arifin yang berniat membuka jalan perdebatan baru dimulai.
"Apa sih, fin? Ngaco aja, mana gue mikirin terong ungu. Gue cuma penasaran sama terong lo, segede apa ya aslinya?"
Arifin tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa selain tercengang, wah ngga beres anak ini.
