5. Fakta Pahit

5.9K 964 134
                                    

Ketika memutuskan untuk mengakhiri perasaanku pada Roni

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika memutuskan untuk mengakhiri perasaanku pada Roni. Realitanya, tetap lah tak semudah itu. Esoknya, kami bertemu tak sengaja di pantry saat aku tengah membuat kopi. Jam setengah tiga memang pelayanan sudah sepi, sepertinya dia baru selesai dari toilet, lalu mampir membuat kopi, sebelum kembali tugas di ruang pelayanan.

"Sehat, Ni?" Hanya dia yang memanggilku begitu. Berdiri di sebelahku dengan jarak beberapa senti sambil menuang kopi saset.

"Sehat," jawabku pendek sambil mengaduk kopi hitam. Aku butuh cafein yang lebih strong karena semalam susah tidur dan hari ini lumayan mengantuk.

Aroma parfumnya yang khas membuatku memilih jarak aman. Ya Tuhan, baru semalam aku bertekad melupakan, disapa sebentar saja rasanya sudah goyah.

"Selamat ya, untukmu dan Bisma."

Aku tertegun sejenak. Roni yang tengah menuang air panas dari dispenser untuk kopi sasetnya, sekilas tersenyum menatapku. Sungguh respon di luar ekspektasi.

"Agak kaget, karena ternyata kamu jalan sama tetanggamu sendiri." Dia kembali ke meja dan mengaduk kopinya dengan tenang. Sikapnya yang lempeng ini menyulut emosiku.

"Memangnya salah, ya?" tanyaku datar. Berusaha bersikap biasa saja, padahal dalam hati geregetan. Harusnya kamu tuh menjelaskan, kenapa menjauh, Kampret. Bukannya ngasih ucapan selamat. Gerutuku dalam hati.

"Gak sih, hanya kaget saja. Toh, kamu bebas menentukan berhubungan dengan siapa, kan?" Nada suaranya terdengar nyinyir.

"Kamu kecewa?" sindirku.

"Ya enggak lah Ni. Kita kan memang gak ada komitmen apa-apa sebelumnya." Ada kekehan ringan yang membuatku seperti tertusuk pisau. Sangat ringan sekali dia mengucapkan kalimat itu, dengan wajah santai dan senyum tipis. Sialan!!

Jantungku berdebar lebih kencang dan tanganku terasa dingin. Berbanding terbalik dengan kopi hitam yang masih panas dengan kepulan asap tipis di depanku. Rasanya sangat emosi mendengar omongannya.

Hei Nia, bukankah pengakuannya ini yang kamu harapkan?

Sisi hatiku yang lain mengingatkan agar emosiku turun dan tidak meledak.

Pengakuan bahwa kalian memang tak punya hubungan apa-apa. Meski caranya mengucapkan sungguh terdengar merendahkan. Seolah keberadaanmu memang tak ada artinya sama sekali. Hanya teman yang mengisi kekosongan sesaat. Brengsek. Dan bisa-bisanya kamu pernah berharap pada pria seperti ini.

Sambil menekan perasaan tak nyaman dan perih yang terasa di hati, aku menyunggingkan senyum tipis. Rupanya benar, banyak ketidakpastian dalam hidup yang mengharuskan kita mengurangi ekspektasi pada apapun dan siapapun. Sebab, ketika kita terlalu berharap, maka kita harus bersiap untuk kecewa. Seperti itulah yang kurasakan saat ini.

Roni mengangkat mug dan mencium aroma kopinya lebih dulu, lalu menyesap perlahan. Wajahnya terlihat tanpa beban sedikitpun. Jika dia terlihat santai, kenapa aku merasa tersakiti? Benar kata Bisma, jangan wasting time dengan pria seperti ini. Dan jangan menunjukkan wajah lemah. Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku memilih meninggalkan pantry lebih dulu.

Marry My Neighbor (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang