Lagi-lagi tatapan dengan itu yang kulihat, sorotan mata tajam itu menusuk hatiku untuk sekian kalinya, kadang aku merasa bodoh karna tak tahu apa-apa. Kalau mungkin ke hadiranku dalam hidupnya cukup menjadi beban baginya, maka tak ada gunanya aku bertahan bukan? Pasti dia akan lebih bahagia bersama kebahagiaan yang diinginkannya.
Tes ... tes ... tes
Cairan merah pekat mengalir keluar dari hidung Prilly, dengan susah payah Prilly menjangkau tisu yang berada jauh dari tempatnya.
Setelah berhasil mendapatkan tisu, Prilly menghapus cairan merah itu dari hidungnya, Prilly tak ingin terlihat lemah oleh siapapun, meskipun ia sudah tak sanggup lagi tidak sekalipun tergores dalam pikirannya mengadu kesakitan pada orang-orang.
Dia ingin orang tahu bahwa dengan penyakit di dalam dirinya, dia masih tetap akan mendapatkan kebahagiaan meski tidak tahu kapan akan datang.
Tok ... tok ... tok
"Prilly sayang ini mama, kamu gak papakan di dalam? Mama masuk ya?" Suara cemas mama dari luar membuat Prilly dengan tergesa-gesa membersihkan semua bercak darah dan tisu.
"Masuk aja ma." Setelah merasa bersih dan darah di hidungnya juga sudah berhenti Prilly mempersilahkan mamanya masuk.
'Klek ....
Pintu kamar terbuka, disana berdiri wanita paruh baya yang sangat menjadi inspirasi Prilly, sosok yang melahirkannya dan memperjuangkan hidup dan matinya. Wanita itu kini berdiri dengan nata satunya menatap Prilly, terpancar raut kesedihan di wajahnya menatap putrinya.
"Prill, apa kamu mimisan lagi?"
Degg!!
Rasanya Prilly tak mampu berdusta pada ibunya sendiri, sekuat apapun dia dihadapan mamanya, ia akan rapuh juga jika sudah mendapat pelukan hangatnya.
Prilly berlari berhamburan ke pelukan mamanya, disana ia menangis sejadi-jadi mengeluarkan beban di hati.
"Ma, kapan Illy bisa bahagia ma? Kapan Illy terbebas dari semua ini?" Adu Prilly pada mamanya semakin mempererat pelukannya.
Dengan sabar mama mendiami putrinya yang masih menangis di pelukannya.
"Prilly sayang, cobaan hidup ini banyak, mungkin ini adalah tahap awal bagi kamu menjalani suatu rumah tangga. Nanti kedepannya kamu akan menghadapi yang lebih besar dari ini, nanti Illy harus bisa menanganinya sendiri, mama gak bisa bantu Illy. Illy udah besar dan udah punya suami yang sudah menjadi tanggung jawab Illy juga. Jadi jangan pernah menyerah nak, karna mama yakin Illy bisa menghadapi semua, Illy juga harus berjuang buat sembuh nak." Kalimat terakhir mama berubah menjadi sedih, air matanya mulai mengalir mengingat beban berat apa yang di alami putrinya saat ini.
Prilly mengangguk paham, di peluknya lagi sang mama erat.
***
"Li gue perhatiin lo akhir-akhir ini sering banget ke rumah sakit kenapa? Ada yang sakit?" Arif menepuk bahu Ali yang tengah bermenung sendirian di taman rumah sakit.
"Eh Arif, gak gue lagi jengukin temen gue Rif, tapi dia bukan sekedar teman, dia teman yang mengisi hati gue Rif. dia sedang sekarat sekarang gue cinta banget sana dia Rif gue gak sanggup kalau dia ninggalin gue. Semua ini gara-gara wanita pembawa sial dalam hidup gue itu." Ucap Ali tiba-tiba membuat Arif bungkam seketika.
Ada rasa marah menggebu di dadanya, rahang Arif mulai mengeras tak terima dengan kata-kata Ali tadi.
"Lo gak bisa bilang kalau istri lo itu adalah pembawa sial, bagaimana pun dia adalah teman hidup lo, dia udah di takdirkan bersama lo." Ucap Arif dingin dan dengan ekspresi wajah berubah datar.
Ali memandang Arif heran, tiba-tiba saja ekspresi wajah Arif berubah setelah mendengar perkataannya dan nada bicaranya terdengar sedikit di tekankan.
"Apa sih Lo Rif? Dia itu emang udah sekali bawa sial ya bakal bawa sial selalu," Ali tertawa kecil sambil menerawang ke langit.
"Jangan sampai lo setelah kehilangan baru nyesel." Arif berlalu pergi meninggalkan Ali yang terdiam masih berusaha mencerna maksud ucapan Arif tadi.
Ali nampak acuh saja, ia ikut berlalu masuk kembali ke rumah sakit ingin berpamitan pada Gia.
Setelah berpamitan pada Gia meski a sama sekali tidak mendapat respon darinya, Ali tetap mengecup dahi Gua lembut baru ia pulang karna sudah mulai larut juga.
>>>>>><<<<<<
Kamu dingin tapi mampu mencuri hatiku, kamu acuh tapi mampu menarik cintaku. Ntahlah atau itu semacam ilusi cinta yang melekat dalam pesonamu, aku terpikat padamu saat awal pertemuan kita, masih teringat di benakku bagaimana kerasnya kamu menolak untuk menikahiku. Aku tahu kamu mencintai Gia teman sekelas ku sewaktu SMA, tapi apa salah jika aku juga memiliki cinta pada suamiku meski dia tidak cinta padaku? Aku selalu berharap ada saatnya aku bisa merasakan dekapan hangatmu meski itu disaat-saat terakhirku.
Selesai menuliskan isi hatinya di bukunya, Prilly merasakan kepalanya terasa sangat sakit, dadanya sesak dan penglihatannya mulai berkurang.
'Tok ... tok ... tok
Bunyi suara ketukan pintu dari luar rumah membuat Prilly berjalan sambil berpegangan pada meja di sudut-sudut ruangan.
"Prilly! Lama banget sih. Woi buka Woi!" Suara Ali dari luar yang sudah emosi membuat Prilly sedikit mempercepat langkahnya.
Semakin cepat kepalanya semakin terasa sakit. Prilly membukakan pintu untuk Ali namun Baru saja Ali ingin membentak Prilly, Prilly sudah jatuh pingsan.
"Prilly, Woi jangan canda deh lo." Ali masih nampak santai menggoyangkan tubuh Prilly dengan kakinya.
Merasa tidak ada respon dari Prilly, Ali mulai terlihat sedikit panik.
"Prilly!"
***
Bukan maksud php atau apa tapi kondisi tubuh gak bisa di ajak kompromi jadi maaf kalau part ini pendek.
Salam peluk
Ira
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDERITA
FanfictionMencinta tapi dibenci? Mmmm perjuangan cinta bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kisah cinta yang di awali dengan keterpaksaan akankah beci itu menjelma menjadi cinta atau malah membenci - mencinta dan di akhiri penyesalan yang mend...