Prilly's pov
Hari itu hujan sangat deras, aku menatap lurus ke jalanan yang becek, sambil menunggu taxi yang ku pesan datang. Hari itu aku baru pulang dari rumah sakit untuk memeriksakan penyakit ku, aku ingin menangis saat itu juga ketika mengetahui penyakit ku yang sebenarnya.
"Permisi, boleh saya duduk disini?" Aku tersentak dari lamunanku, ternyata seorang ibu-ibu muda.
Ku lihat dia memangku anaknya yang sedang tertidur lelap di pangkuannya, anak itu begitu manis, kalau dilihat-lihat sepertinya anak ini perempuan tapi kenapa kepalanya botak?
"Mmm ... maaf buk kalau saya lancang, kalau boleh tahu anak ibu bukannya perempuan?" Tanyaku penasaran.
Ekspresi wajah ibu itu langsung berubah sedih, takut-takut aku melukai perasaannya.
"Oh, maaf bu kalau saya buat ibu sedih."
"Tidak apa, iya anak saya ini perempuan, namanya Chika, dia anak yang manis, tapi sayang dia mengidap penyakit keras." Ibu itu mengelus kepala anaknya sambil menahan tangis.
Aku diam, mataku terus menatap ke anak perempuan itu, bagi anak itu pasti sangat sulit menerima semuanya mengingat usianya yang kira-kira 6 tahun. Ia harus membenani penyakit keras, di saat anak-anak lain sedang sekolah dan bermain ia harus menjalani pengobatan.
Cukup lama aku bercerita dengan ibu itu, dan tanpa sadar hujan sudah reda dan taxi pesananku sudah datang.
"Terimakasih bu, kalau begitu saya dulu ya bu. Titip salam sama anak ibu bilang semangat ya." Ucapku tersenyum sebelum berlalu masuk kedalam taxi.
Aku pulang ke rumah, dan saat itu suamiku Ali belum pulang. Sudah menjadi hal biasa kalau Ali pulang larut malam. Rumah tangga kami yang baru ini berjalan tidak lancar, Ali sangat kasar padaku tapi aku menerima sikapnya itu.
Aku tahu dia masih tertekan dengan pernikahan kami, terlebih aku sangat tahu siapa kekasihnya, Gia adalah kekasihnya sejak SMA dan kini Gia terbaring koma di rumah sakit. Aku tahu semua itu.
Kalau di tanya sakit kah rasanya pasti sangat sakit, Ali menamparku, memukul dan menghinaku. Tapi ntah mengapa dengan semua itu aku masih bisa bertahan bersamanya.
Ya, aku hanya perempuan lemah dan bodoh. Pantas jika Ali tidak mengharapkan kehadiranku dalam hidupnya, tapi bolehkan aku mengharapkannya walau hanya sekali saja.
Braakkkkk ....
Suara pintu yang di dobrak dengan kencang mengagetkanku yang sedang termenung.
"Ali, ya ampun kamu minum lagi?" Aku menutup hidung mencium bau alkohol di tubuh Ali.
"Trus kenapa kalau gue minum? Masalah buat lo? Heh dengar ya, lo itu cuma parasit di hidup gue jadi mendingan sana deh jauh-jauh gue mau mandi." Ali mendorong kasar tubuhku hingga terjatuh ke sofa.
Begitulah Ali, dia tidak pernah menganggapku, yang ada di dalam pikirannya hanyalah Gia dan kesenangan.
Pagi harinya aku kembali ke rumah sakit untuk konsultasi mengenai penyakit ku. Arif, dia adalah sahabatku sekaligus dokter kepercayaan ku.
Dia juga sahabat Ali, ya aku sangat tahu itu. Bahkan dia yang menangani penyakit Gia.
"Hai pagi Prill, tumbenan amat datang cepat." Arif menepuk bahuku pelan sambil tersenyum.
"Eh tunggu, lo abis nangis?" Ucapnya tiba-tiba memperhatikan wajahku dengan seksama.
"Apaan sih Rif, enggak kok palingan ini bengkak karna gue tadi tidurnya lama udah gak papa, yuk kita mulai aja." Aku mencoba mengalihkan perhatian.
Tapi Arif tahu aku, dia mencekal pergelangan tanganku, aku menoleh ke arahnya nampak wajah Arif yang seperti menahan amarah.
"Apa ini semua gara-gara Ali?" Tanyanya dengan pelan namun terdengar nada emosi disana.
Aku hanya menunduk tak mampu menatap ke arah Arif, rasanya aku tak pernah bisa berbohong pada Arif. Tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa di hentikan.
"Bener-bener si Ali, biar gue habisin dia Prill!" Arif ingin pergi namun segera ku tahan tangannya.
"Gak usaha Rif, udah gak papa kok."
Arif mengalah, dan memili mencek keadaanku, aku harus menjalani kemo secepatnya, takut sel kankernya semakin menyebar.
Tapi aku terlalu takut, aku takut dengan kemo itu malah akan semakin mempercepat usiaku, aku ingin merasakan kebahagiaan yang ntah kapan bisa aku rasakan.
"Apa Ali tahu penyakit lo Prill?" Tanya Arif tiba-tiba setelah lama hening.
Aku menggeleng pelan "dan berharap dia jangan sampai tahu Rif, karna takut nanti jadi beban buat Ali."
"Lo masih baik sama dia setelah dia nyiksa lo Prill?" Arif mengepalkan tangannya menahan emosi.
"Gak papa Rif, aku berencana akan mendonorkan jantungku untuk Gia, berharap dengan jantungku nanti Ali bisa bahagia dengan Gia." aku tersenyum berusaha keras menahan tangis ku agar tidak pecah di hadapan Arif.
"Kenapa Prill? Kenapa lo ngedonorin jantung lo buat kebahagiaan orang yang udah buat lo sengsara Prill!" Arif menatap tajam ke arahku ia sudah benar-benar emosi.
"Asal dia bahagia aku ikut bahagia Rif."
Keputusanku sudah bulat dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Aku bahagia saat Ali bahagia meski itu bukan bersamaku.
Setidaknya aku tidak akan lagi menjadi penyebab kehancuran Ali, aku tidak akan lagi membuat Ali kesal ataupun marah. Ali hanya akan bahagia nanti.
****
Flashback dulu semua, cuma satu chapter kok hihi besok lanjut galaunye hahaha
Menderita masih panjang yak ceritanya jangan berfikir kalau udah mau ending karna imajinasi author lagi berjalan liar hahahah 😂 vote commentnya yang bawel yaahhh aku seneng liat comment kalian kemarin hihi makasih yaaa
Kecupp satu-satu 😘
Ira
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDERITA
FanfictionMencinta tapi dibenci? Mmmm perjuangan cinta bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kisah cinta yang di awali dengan keterpaksaan akankah beci itu menjelma menjadi cinta atau malah membenci - mencinta dan di akhiri penyesalan yang mend...