Thommas nampak benar-benar serius dengan ucapannya, Diva menghela nafas dan berjalan disamping kekasihnya itu dengan gugup.
kedua orang itu sedang berada disebuah toko barang elektronik, Thommas mengatakan jika ia ingin meneruskan kuliah bidang Desain Komunikasi Visual itu maka device yang digunakannya pun tentu harus mempuni, mudah bagi anak kaya raya sepertinya. Diva menarik kesimpulan itu karena melihat Thommas cukup hidup dengan tenang dan nyaman meski merantau jauh dari kedua orang tuanya.
"Terus adik kamu gimana?"
"Nerusin kost gue." Diva menghela nafas untuk kesekian kalinya, Thommas memang memiliki saudara laki-laki yang akan masuk sekolah menengah atas tahun ini beriringan dengan kelulusan Thommas.
Ucapan tentang tantangan Thommas pada Diva itu nampak membuat remaja dengan tinggi 156 cm itu overthink, ia tidak benar-benar merasa yakin kenapa menyetujui perkataan kekasihnya itu tentang tinggal bersama satu kost jika Thommas memenangkan pertaruhan.
"Ini bagus kayaknya Div." Diva tersadar dari lamunannya saat Thommas berucap, remaja itu menoleh dan melihat Thommas yang nampak tertarik pada sebuah laptop yang dipajang pada display, seorang wanita cantik datang dengan senyum dan mulai menjelaskan spesifikasi laptop itu pada Thommas "Ini buat gaming yang ada." Ucap Diva akhirnya setelah sekian lama diam, memperhatikan laptop dengan harga hampir menyentuh angka empat puluh juta itu.
"Budget kamu berapa?" Diva menarik pelan ujung varsity yang dipakai Thommas, kekasihnya itu sedikit menunduk dan mendengar bisikan Diva, Thommas menoleh, wajah keduanya hampir bertabrakan dan membuat Diva refleks memundurkan tubuhnya dengan wajah bersemu sedangkan Thommas terlihat tidak bereaksi apapun terhadap kejadian intens barusan "Lima." Ucap Thommas pelan sambil memperlihatkan kelima jari tangan kanannya.
Diva terdiam, kekasihnya itu memang benar anak orang menengah keatas, pikirnya.
"Belinya apa nggak nanti aja kalo kamu udah pasti masuk? kalo nggak lulu—"
"Lu ngeremehin gue apa gimana Div? lagian kalo nggak lulus DKV gue beli laptop juga kepake buat jurusan la—"
Diva terkejut melihat Thommas yang nampak mengerutkan keningnya entah karena kesal atau marah pada ucapan kekasihnya itu, Diva menyentuh pelan tangan kiri Thommas "Bukan gitu, ma-maksud aku kan kal—" Diva menghentikan ucapannya dan menunduk melepaskan pegangan tangannya "Maaf." Ucapnya pelan.
Thommas terdiam, perasaan kesalnya tadi menguap entah kemana, remaja itu bukanlah orang yang mudah melupakan sebuah emosi yang dirasakannya namun ketika hal itu menyangkut Diva, Thommas jelas berubah sangat drastis.
"Nggak papa." Lelaki itu mengacak rambut Diva dan menoleh, tersadar jika bukan hanya mereka berdua yang ada ditempat itu saat ini, dan wanita yang sedari tadi diam memperhatikan interaksi Thommas dan Diva itu dengan cepat tersadar lalu berdehem dan tersenyum kaku "Jadi gimana kak? Ini stok terakhir di gudang cuma satu kalau mau yang di display saya saranin yang baru digudang lebih bagus sih." Ucap Wanita itu, Thommas menarik tangan Diva dan menggenggamnya erat.
"Saya jadi ambil yang ini mba," Diva terdiam dan melihat kedua tangan mereka bertautan ditempat umum, ini pertama kalinya dan lelaki itu tersadar jika mereka seperti sedang berkencan.
Wajah remaja itu seketika bersemu tipis, mengalihkan pandangannya dan berjalan mengikuti langkah Thommas, Diva membalas gengaman tangan kekasihnya itu meski dengan kaku.
—
"Kita kaya lagi—"
Thommas menunggu ucapan Diva yang terhenti ditengah jalan, lelaki itu duduk diam didepan kekasihnya dengan pandangan yang tidak lepas dari wajah kecil manis itu "Lagi apa?" tanya Thommas ketika kekasihnya itu tidak kunjung melanjutkan ucapannya.
"Nggak ada, hehe." Diva mengurungkan niatnya meneruskan ucapan karena terhalang rasa malu.
Thommas hanya tertawa dan mengacak pelan rambut Diva karena sudah terbiasa dengan sifat kekasihnya yang selalu membatalkan ucapan itu, pandangannya tidak lepas dari bibir tipis yang tengah menikmati McFlurry itu.
Diva memang sangat-sangat terlalu menggemaskan dan fenimin untuk terlahir sebagai seorang laki-laki, mulai dari postur tubuh, wajah, suara hingga tingkah laku dan selera remaja itu memang sangat-sangat jauh dari tingkat umur lelaki sewajarnya, entah karena kromosom x nya lebih banyak atau apa namun semakin lama bersama Thommas semakin menyadari jika berpacaran dengan Diva tidak ada bedanya berpacaran dengan seorang gadis pada umumnya.
Kebiasaan baru Diva pun muncul, mengoleksi hoddie Thommas, hampir 4 buah hoddie lelaki itu sudah berada ditangan Diva, entah karena kejadian spontan atau Diva yang benar-benar ingin meminjamnya.
"Baunya enak." Itulah ucapan Diva yang membuat Thommas hampir menyerahkan semua pakaian miliknya pada remaja itu, hanya bercanda tentunya karena ia masih sadar diri untuk tidak membiarkan hidup telanjang menjadi budayanya.
Dan saat ini Diva memakai salah satu Hoddie miliknya, Maternal Disaster adalah brand pakaian lokal yang terkenal garang, namun saat Diva memakainya semua image itu berubah drastis dimata Thommas.
Ukuran yang berubah menjadi oversize itu terlihat menenggelamkan tubuh kecil kekasihnya.
"Tomi mau main nggak?" Thommas tersadar dari lamunan randomnya itu dan melihat diva yang berdiri didepannya "Main apa?"
"Itu." Diva menunjuk kearah arena bermain yang ada di mall besar itu, Thommas bangkit dan mengangguk " Ayo."
Diva tertawa kecil dan menarik tangan Thommas, remaja itu seperti tersengat listrik saat Diva menyentuh tangannya.
Meski mereka sudah cukup lama berpacaran, nyatanya kedua orang itu belum pernah melakukan hal-hal yang intens, berpegangan pun termasuk cukup jarang karena mereka melalukannya selalu dalam keadaan tidak sadar dan spontan, hal itu membuat hubungan keduanya seperti berjalan lambat meski Thommas mengakui jika tanpa menyentuhpun ia sudah begitu lemah dihadapan remaja pendek itu.
Thommas benar-benar tunduk pada pesona Diva.
"Kenapa?" Thommas menaikan alisnya saat melihat Diva yang menghentikan langkah kakinya, remaja yang awalnya sangat bersemangat itu nampak lesu "Nggak jadi, orangnya banyak banget."
Thommas mengerti jika Diva mungkin adalah orang yang benar-benar introvert, remaja itu mudah merasa lelah meski hanya berhadapan dengan satu orang asing. Berhadapan dengan orang lain adalah ketakutan tersendiri baginya.
"Nggak papa, sama gue."
Dan keberadaan Thommas disampingnya adapah untuk menarik keluar Diva dari zona nyamannya.
"Ngg—"
"Kalo mau main ntar gue kasih pinjem satu lagi hoddie gue gimana?"
Diva sontak bersemu, ucapan Thommas membuatnya terdengar seperti orang mesum
yang gemar mengoleksi barang-barang milik kekasihnya itu "Dih! nggak."Thommas tertawa melihat reaksi Diva "Yaudah gue nggak maksa, kalo gitu mau apa? diluar masih hujan juga nggak bisa pulang."
Diva nampak tidak berpikir dan langsung tersenyum lebar "Gramed?"
Diva dan buku adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, mungkin jika berulang tahun Thommas tidak perlu pusing memikirkan hadiah untuk kekasihnya itu karena memberi buku sama seperti memberi hal luar biasa bagi Diva.
Dan Thommas nampaknya harus membiasakan diri dengan gaya hidup penuh kesendirian milik kekasihnya itu saat ini.
TO BE CONTINUED...
Tinggi Diva berapa sih, lupa gue (nggak ada baca ulang softcore hahaha)
It's official ya buku ini isinya characters development dari Thommas atau Diva karena dua orang ini bener-bener beda, and a little bit romance comedy (i hope so)
PUBLIXXENEMY.
KAMU SEDANG MEMBACA
F
HumorSPIN OFF SOFTCORE Tidak semua orang bisa langsung beradaptasi dengan perubahan besar yang datang pada hidupnya, Diva adalah salah satu dari orang yang mungkin bisa mengatakan dirinya beruntung dan sial disaat bersamaan. Kenyataan mengatakan jika Tho...