chapter - 2

4.6K 682 79
                                    





"Taehoon, perkenalkan. Dia Hobin. Dia akan jadi teman bermainmu mulai sekarang."

Dulu, Taehoon dikenalkan dengan seorang anak kecil yang sepantaran dengannya. Anak dari sekretaris di kantor ibunya dulu. Karena dulu Taehoon suka mengikuti ibunya kerja, ibunya kemudian meminta sekretarisnya untuk membawa anaknya juga kekantor. Agar Taehoon bisa memiliki teman sewaktu dirinya bekerja.

"Hai. Namaku Hobin." Anak imut itu mengulurkan tangannya pada Taehoon yang menatapnya dengan beringas,

"Aku tidak mau bermain dengan anak cewek."

"Taehoon!" Ibunya menegur. "Dia anak laki-laki. Sopanlah kepada temanmu."

Taehoon mengernyit, dan kemudian menatap Hobin yang kala itu satu jengkal lebih pendek darinya, meski mereka sama sama berumur 6 tahun.

"Ibu, dia jelek."

"Taehoon!!"

Pertemuan mereka dikacaukan oleh Taehoon yang menolak berteman dengan Hobin yang sejak dulu lumayan pemalu. Tapi sejak saat itulah, Taehoon paham kenapa Hobin sama sekali tidak marah atau menangis meski Taehoon jahat padanya.

Ternyata Hobin itu... mengganggap dirinya teman.

***

Dua jam berlalu sejak ibunya dan ibu Hobin pergi rapat. Taehoon sudah kelaparan dan semakin kesal karena suasana canggung diantara dirinya dan Hobin, jadi, dia kemudian mendorong Hobin dari sofa seraya tertawa jahil, "Hahaha! Dasar anak lemah! Kenapa kau jatuh kesana?"

Hobin melirik Taehoon yang menertawainya dengan ekspresi sedih. Dia kemudian duduk di bawah sana sembari memegangi perutnya. Sama seperti Taehoon yang lapar, Hobin juga sama laparnya dengan Taehoon.

Awalnya Taehoon berniat mengabaikan Hobin yang memasang wajah lesu karena lapar, tapi kemudian dia kasihan juga dan memilih untuk mencari makanan.

"Anak merepotkan. Kenapa ibu meninggalkanku dengan anak payah sepertimu, sih?" Gerutu Taehoon.

Hobin kemudian diam dan semakin menunduk, merasa bersalah sudah merepotkan Taehoon, meski sebenarnya dia tidak melakukan apa-apa.

"Hei, kau berdirilah dan ikuti aku. Kita kan bisa mencari makanan."

"Apa...?"

Taehoon kemudian menunjuk toko roti yang berada diseberang kantor ibunya, dan kemudian tersenyum. "Ibuku mengenal tante yang jualan roti disana. Kalau kita mengambil roti dengan menyebut nama ibuku, dia akan berikan dengan gratis!"

Hobin kemudian menatap toko roti yang ditunjukkan oleh Taehoon dengan tatapan ragu, dan kemudian menggeleng. "Tapi kalau kita mau turun, harus naik lift. Aku takut naik itu tanpa ibuku."

"Kan ada tangga!" Seru Taehoon. 

Hobin yang tidak mengerti apapun, hanya menurut saja ketika Taehoon mengajaknya untuk pergi ke tangga darurat yang tersedia disetiap lantai.

Awalnya, Hobin hanya memegang ujung pakaian Taehoon dengan ragu, meski akhirnya ikut menuruni lantai tangga itu bersama Taehoon yang melangkah dengan yakin.

"Aku... takut."

Taehoon melirik Hobin yang sedikit gemetaran saat mengikutinya menuruni tangga, lalu membungkukkan tubuhnya didepan Hobin. "Naiklah ke punggungku."

"Apa?"

"Naik," perintahnya.

"Bagaimana kalau kamu terjatuh?" Tanya Hobin, risau.

"Tidak akan. Ibuku bilang aku anak paling kuat seantero bumi," jawab Taehoon, sombong.

"Bagaimana kalau kamu terluka?" Hobin berucap ragu. "Kalau kita terjatuh dari ketinggian seperti ini, kamu akan terluka lebih parah dari aku..."

Taehoon yang mendengarnya kemudian terdiam, melihat Hobin yang menatapnya dengan khawatir.

"Tidak usah takut! Aku... akan melindungimu."

Hobin menatap Taehoon yang berucap dengan yakin itu dengan tatapan kagum. Hingga dia menuruti apa kata Taehoon dan menaiki punggungnya,

Awalnya, Taehoon seperti katanya memang sanggup menuruni tangga itu dengan lancar, tapi ternyata, memang apa yang bisa diharapkan dari tenaga anak yang berumur 5 tahun lebih sedikit?

Saat hampir mencapai anak tangga berikutnya, kaki kecil Taehoon tersandung kakinya sendiri, dan kemudian membuat dirinya beserta Hobin terlempar kebawah.

Hal yang tidak bisa Taehoon hentikan adalah, saat Hobin memeluk Taehoon dengan sekuat tenaganya dan menjadikan tubuhnya yang kecil sebagai pelindung tubuhnya Taehoon yang menggelinding jatuh ke bawah.

Taehoon mengira wajahnya akan hancur ketika dia jatuh tadi, tapi saat menyadari bahwa tangan kecil Hobin melingkar di wajahnya, Taehoon kemudian melihat teman kecilnya itu tergeletak disampingnya dengan kubangan darah disekitar mereka.

Hobin jelas terluka parah karena melindunginya. Dan Taehoon... hanya mengalami luka ringan dan itu tak sebanding dengan Hobin.

Setelah itu, Taehoon yang merasa pusing kemudian jatuh kelantai bersama Hobin yang tak sadarkan diri.

Saat Taehoon kecil terbangun, Hobin sudah pergi. Ibunya tak menjelaskan keadaan Hobin secara detail, tetapi dia paham jika Hobin terluka parah dari kejadian itu.

Sejak saat itu, sekretaris ibunya juga tak terlihat. Taehoon tidak menanyakan apapun, karena dia mengetahui apa alasannya saat mendengar pembicaraan ibunya dengan seseorang.

Hobin yang terluka parah memerlukan perawatan intensif dan lebih rumit sehingga dia dipindahkan ke Australia untuk pengobatan. Karena perawatan lukanya akan memakan waktu yang cukup lama, ibunya Hobin berhenti dari pekerjaannya dan memutuskan untuk menemani Hobin yang terluka disana.

Taehoon tidak tahu lagi kabar kawan kecilnya sejak saat itu.

***

Cerita masa lalu itu sudah berakhir. Sekarang, hanya tersisa Hobin dengan luka-luka ditubuhnya. Berjalan pincang ke apartemennya dengan perasaan kacau.

Fisiknya memang lebih kecil dari teman sebayanya. Itu karena Hobin sempat koma selama 2 tahun dan menjalani perawatan intensif dengan pengamatan dokter selama 3 tahun. Dia hanya belajar dari guru privat saja karena kondisinya selama ini, tapi begitu Hobin menginjakkan kakinya ke sekolah formal, semuanya tak berjalan baik.

Hobin... entah sejak kapan merindukan ibunya yang masih sibuk bekerja di Australia.

"Ibu..."









"Hobin, ini." Jjiksae memberikan sebuah roti rasa lemon kepada Hobin yang sedang menyapu di halaman belakang sekolah. Yah, sebenarnya ini bukan tugasnya, tapi ini lebih baik daripada dipanggil oleh Pakgo dan kemudian dipukuli.

"Kau akan dipukul jika ketahuan," ucap Hobin, lemah.

"Makanya makan ini dengan cepat. Aku memang tidak bisa melakukan apa-apa saat kau dipukul. Tapi aku bisa untuk sekedar membelikan ini."

Uangnya Hobin habis dipalak oleh mereka semua. Dia hampir tak makan apa-apa saat disekolah dan itu membuat Jjiksae sedikit kasihan. "Makan yang cepat. Dan..."

"Aku tidak suka roti lemon," kata Hobin, cepat.

Jjiksae kemudian merogoh sakunya dan mengambil tangan Hobin. Dia meletakkan susu coklat disana. "Setidaknya... minum itu."

Hobin kembali terdiam ketika Jjiksae memberikannya itu. Lalu tersenyum tipis. "Baiklah."

Hobin pikir, tidak ada salahnya untuk menerima niat baik seseorang, tapi,

Segera saja dihari itu dia menyesali perbuatannya. Karena, besoknya Jjiksae tidak lagi masuk sekolah dikarenakan terjatuh dari motornya.

Tapi siapapun tahu... siapa yang membuat Jjiksae terjatuh dari motor itu.



Taehoon, Why Are You So Rude?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang