⚜ Kebanyakan Mikir

125 12 0
                                    

Pernah gak sih terpikirkan mantan? Bukan mantan yang litereli pernah memiliki hubungan serius, melainkan mantan gebetan.

Pukul dua lewat lima belas, Renjun terbangun saat mimpinya dirasa aneh dan menyeramkan. Bukan berarti dia bermimpi tentang hantu jeruk purut yang menggentayanginya atau bermimpi mengenai emaknya yang marah-marah gara-gara dia ketahuan sempet ngilangin tapeware mini warna ungu janda.

Ini mah serius, masa iya dia yang sedang tidak memikirkan para mantannya—anjay para mantan—tiba-tiba saja masuk ke dalam mimpinya. It's okay deh kalau si Felix dan kekasihnya yang menghantui sampai terbawa mimpi sebab tadi siang dia mencuri tempe mendoan si bule jadi-jadian. Lha, tapi ini mahkan kagak. Terpikirkan saja enggak, masa iya tiba-tiba dia mimpiin empat gebetan jadulnya.

"Yaelah, mupon cuy mupon. Paling mereka jadi cupu gue tinggal." Penginnya sih ngomong gitu, tapi mulut sama pemikiran kadang gak sinkron. Masa iya tiba-tiba dia membayangkan Jeno menjadi super gagah seperti binaragawan, Haechan super cool layaknya model sabun colek, Jaemin tambah ganteng  mirip Aliando, serta Mark yang semakin bijaksana layaknya Donal Trump.

Puk! Puk! Bunyi tangan Renjun menepuk-nepuk bibir si empu. Dia gak sadar saja apa yang dia lakukan dan gumamkan sedari tadi terdengar oleh Jaehyun yang memang baru tidur lima belas menit sebelum Renjun terbangun, alhasil lelaki itu belum benar-benar memasuki alam mimpi sebab insomnia yang akhir-akhir ini melanda.

"Ngapain?" tanya Jaehyun dengan suara parau. Sakit tenggorokan yang dideritanya sebab minum jusjas dua bungkus, membuat Renjun terkejut bukan main sampai megangin jantungnya; memastikan masih ada di tempatnya.

"Buset!" pekik yang lebih muda. "Lho, lo sendiri ngapain?" tanyanya balik, bukannya menjawab pertanyaan.

Jaehyun mendudukkan dirinya di kepala ranjang. Kepalanya di pegang, pening tiba-tiba melanda.  "Mau balik? Lusa udah wisuda 'kan?" ngomongnya sih santai saja, tapi Renjun yang jadi degdegan sendiri.

Pa mkst nh!? Jangan-jangan si Jupri dengar gumamannya tadi.

"Y-ya ... siapa sih yang gak pengin balik ke rumahnya sendiri. Lo juga bilang gitu 'kan, abis gue wisudaan dan kelar semua urusan perkuliahan, lo bakalan balik ke rumah?" ujarnya, pembelaan.

"Iya. Pengin ketemu Enyak-Babe." Jaehyun menggelengkan kepalanya berupaya menghilangkan pening.

Salahnya sendiri yang sok-sokan minum banyak padahal toleransi terhadap alkoholnya tidak lebih dari 3 botol saja dengan presentase yang tidaklah besar-besar amat. Nah, kena 'kan akibatnya. Batu banget sih dikata.

Renjun mengangguk. Durhaka-durhaka gini Renjun masih tahu diri. Gini-gini dia merindukan masakan emaknya, merindukan motor bebek bapaknya yang suka menemani dia belanja ke Mbokalpa. Iya, itu doang kok yang dikangeninnya. Seriusan.

"Kalo kamu?"

"Hah?" Renjun mengerjap. Aneh banget, kayaknya Jaehyun kesambet semut rangrang deh.

"Kalo kamu, rindu siapa?" tanyanya lagi. Kali ini si bongsor memilih posisi tidur menyamping; membelakangi Renjun yang masih terdiam menatap setiap gerak-gerik kekasihnya.

"Ri-rindu ... ya, sama." Sama di sini, artian kedua orang tua seperti apa yang Jaehyun ucap sebelumnya.

Meskipun ngomongnya asal saja sih.

"Bukannya 'mereka'?" mata yang lebih besar mulai terpejam, siap memasuki alam mimpi.

"Mereka? Mom Baek sama Pap Yeol? Oh, op kors, op kors."

Dirasa tidak ada lagi pembicaraan sebab Jaehyun yang mulai mendengus pelan, Renjun yang kebingungan memilih tidak memusingkan perkataan kekasihnya. Alih-alih kembali menutup tubuh dengan selimut tebal sampai sebatas dada, Renjun memilih bangkit guna menyeruput sirop marijan rasa koko Cina—eh, maksudnya coco pandan.

"Aneh banget sih Jupri," gumamnya saat dahaga sudah tertuntaskan. Dengan segelas cairan berwarna merah, Renjun terduduk di atas sofa yang menghadap langsung televisi. Dinyalakannya televisi tipis di depannya, memutar film random yang ia temukan. Kembali menyeruput minumannya, masih memikirkan Jupri dan mimpinya.

"Opertingking lagi, opertingking lagi. Capek anjir opertingking mulu!" sebalnya. Tubuhnya di sandarkan di kepala sofa. Minuman yang telah habis disesapnya, gelasnya ia taruh di atas meja. TV dibiarkan menyala, mengisi keheningan yang sebenarnya gak hening-hening banget sebab tetangga lagi hajatan; suara dangdutannya sampe malem juga kagak kelar-kelar.

"Mereka, ya ..." tangan kirinya menggapai udara, sebelah matanya menatap tangan kirinya yang seolah-olah hendak menggapai langit-langit ruang tengah. "Kayaknya gue tahu maksud si Jupri."

•°•

"Aku pikir kamu benar-benar akan meninggalkan kita." Sesosok lelaki bertubuh ceking berujar. Rambutnya yang berwarna biru (persis ayam-ayaman anak SD) menari-nari seiring angin meniupnya.

"Juleha, kamu ke mana aja selama ini?" sesosok lainnya ikut nimbrung. Tangannya dengan tidak tahu diri menguncang tubuh lelaki yang tengah bingung menatap kedua sosok di depannya.

"Minggir!" sesosok lain (bertubuh lebih besar daripada dua sebelumnya) mendorong si lelaki yang sebelumnya mengguncang histeris tubuh pemeran utama yang tengah kebingungan. "Jangan sekalipun kalian menyentuh Juleha guwe. Sampe guwe liat sekali lagi loe-loe pada berani nyentuh milik guwe, abis loe semua!"

Jreng! Jreng! Jreng! Ctar! Tiba-tiba suara petir menyambar. Seakan tidak mendengarnya, mereka tetap melanjutkan perdebatan tiada ujung hingga setetes demi tetes air hujan turun membasahi mereka.

"Aduh! Plis deh kalian. Setop, gueh bilang setooop!" yang sedari tadi diam saja, kini angkat bicara. Tubuhnya mundur satu langkah, menepis genggaman si tubuh besar yang menatapnya heran (karena merasa ditolak).

"Iya gueh tau gueh cakep. Tapi plis deh, gueh gak tahan kalo direbutin cowok ganteng begini!" di bawah derasnya hujan, air mata biawak keluar. Seolah menghapus air mata, si pemeran utama berakting ala-ala cewek di sinetron Ikansiar.

"Kalian mau sama gueh?" tangannya menunjuk dirinya sendiri (dengan gerakan lebay). "Oh, opkors gueh juga mau sama kalian!" kali ini, gerakan alaynya ialah tangan kanan di taro di atas kening (punggung tangan di jidat) sedang tangan kiri di dada, lalu tangan kiri tukeran posisi dengan tangan kanan sedang tangan kanannya maju ke depan seolah-olah mengatakan "SETOP, PLIS SETOP".

"Gueh tau gueh terlalu aduhai untuk kalian yang aduh anjay, tapi pliss, ini mah gueh mohon banget pliss!" tangan si tokoh utama terentang, lalu memeluk dirinya sendiri. Air mata biawak pun masih setia menemani tetesan air hujan di dinginnya malam.

"Lo, lo, lo, dan lo semua ... plis banget, ini tuh lagi ujan anjir bisa ga sih dramanya nanti dulu—"

Ting!

"Lo apa-apaan sih, Jupri!" Renjun melotot. Menatap Jaehyun tidak terima karena sekonyong-konyong lelaki itu mematikan televisi yang sedang menyiarkan sinetron kegemarannya; Aku Bukan Milikmu Namun Dirinya Bukan Juga Milikku Yang Sebenarnya Milikku.

"Tipi teroos! Peernya udah dikerjain belom tuh?"

"Yeh, Anakonda! Lo kira lo Emak gue. Cepet balikin!" Renjun dengan ganasnya menarik jaket Jaehyun yang mana masih dipakai sebab baru saja balik dari perpustakaan. "Aah, Jae mah cepetan balikin. Itu tayangan perdana tau!"

"Ambillah sini," kata Jaehyun yang dengan kurang ajarnya semakin meninggikan remot tv di genggamannya agar sang kekasih tidak dapat mengambilnya.

"Jaehyun!", "Anjing."

Berhasil. Dengan senang, Renjun menjulurkan lidah ke arah Jaehyun yang tengah menahan sakit sebab kakinya diinjek dengan sangat tidak manusiawi. Kalo punggung kaki sih masih mending, nah tapi, ini tuh, masalahnya kelingking dia yang diinjek. Sakitnya berasa kepentok ujuang meja!

"Lo kalo sampe ganggu gue lagi, abis itu koleksi wibu lo gue bakar semua! Liatin aja." Finalnya yang lebih muda.

Ya mau gimana lagi, gini-gini Jaehyun mah masih sayang waifunya. Kalo sampe beneran dibakar koleksiannya, waduh gak tau deh apa yang terjadi pada dirinya ke depannya.

Paling tidak sih yang pertama terlintas, dirinya mau jadi Mahito biar berubah jadi ulet keket terus gangguin Renjun seumur hidup.

"Anjay, Juleha berkaki lima kayak kayak bangsat, kok endingnya begini anjir!??"

—bersambung...

Anyelirene ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang