|| Jogja Tengah Malam

3 1 0
                                    

Yogyakarta. Kota dengan banyak pemuda yang sedang jatuh cinta, entah dengan romantisme Kota Jojga yang digadang-gadang terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan yang merupakan penggalan sajak yang ditulis penyair ternama Joko Pinurbo, atau memang jatuh cinta dengan salah satu penduduk kota yang sama-sama antusias ingin menakhlukkan tiap gang-gang sederhana Kota Jogja.

Begitu juga dengan Ararinda Griswalda, salah satu mahasiswi kampus negeri di Kota Jogja yang turut serta menjadi penikmat romansa di Kota Jogja. Bersama Panji, kekasihnya sejak tiga tahun lalu, Ararinda ditemani menikmati lampu-lampu Kota Jogja malam hari, makanan-makanan manis khas Jogja, panasnya menunggu lampu hijau di traffic light kota, teduhnya jalanan kota usai diguyur hujan, dan alam tersembunyi di tiap sudut kota Jogja.

Tidak hanya menjadi pasangan untuk menikmati manisnya perjalanan, Panji juga menjadi sandaran setiap kali Ararinda sedang di episode terburuknya. Ararinda tidak pernah sepenuhnya menceritakan apa yang pernah dialaminya atau masalah-masalah yang harus ia selesaikan. Ararinda hanya menunjukkan lelahnya dengan melamun, menangis, memberitahu insomnianya yang semakin buruk, dan kebiasan melukai tangannya sendiri tanpa pernah menceritakan sebab-sebab dia menjadi berantakan seperti ini.

"Panji, aku nggak bisa cerita bukan karena aku nggak mau cerita. Kamu ada tepat di pandangan mata ku setiap kali aku lagi berantakan, itu udah cukup," ucap Ararinda setiap Panji menuntut Ararinda untuk bercerita.

Perempuannya yang baru saja masuk mobil setelah menikmati nasi goreng sapi trotoar jalan bersamanya ini terlalu sering bertemu pengkhianatan hingga terkikis habis kemampuannya untuk mempercayai manusia lain. "Aku masih males balik kos, nih. Mau muterin ring-road aja, nggak?"

Sampai pada akhirnya, Panji menjadi salah satunya.

"Oke. Mau muter playlist nya Sheila On Seven?"

"Tentu saja, dong, pak!"

Sheila On Seven, warung makan di trotoar jalan, wedhang ronde, kemeja flanel oversize, aroma vanilla, rambut hitam sepunggung yang selalu diikat asal ke atas, dan kopi hitam, semua akan mengingatkan Panji dengan Ararinda, dengan perempuan pemilik tawa renyah di sampingnya.

Dalam kebimbangannya, ia justru semakin sering menatap Ararinda, menimbang-nimbang sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apakah takarannya sudah benar atau berat sebelah.
Apakah apa yang dilakukannya benar-benar yang dia mau atau memang karena keadaan.

"Kalau asam lambung kamu lagi naik itu sakit banget, ya?"

Ararinda mengecilkan volume musik, dilihatnya Panji yang tiba-tiba membuka obrolan mengenai asam lambung. "Nggak terlalu. Kalau udah sampai ulu hati dan sesak napas ya nyeri banget sampai mau pingsan. Kenapa tiba-tiba tanya, deh?"

"Kamu itu gampang kedinginan, lho. Perbaiki pola makan apalagi nasinya, jangan kalau inget doang makan nasi. Kalau perut tenang, badan jadi hangat, kan."

"Aneh lho kamu." Ararinda melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah hampir jam satu pagi. "Oalah, pantesan obrolannya udah ngalor-ngidul, udah jam malam ternyata. Pantai, yuk!"

"Ararinda.."

"Sebentar doang, Bapak Panji."

"Besok-besok kalau lagi banyak pikiran tapi nggak ada teman, jangan ke pantai pagi-pagi sendirian, ya."

Ararinda menatap Panji lekat-lekat cukup lama, sebelum akhirnya ia menanyakan sikap Panji yang mulai aneh belakangan ini. "You will go?"

"I'm here. Aku di samping mu, lagi nyetir mobil, lho."

Kabin mobil menjadi lebih sunyi, hanya terisi suara Sheila On Seven yang sedang menyanyikan anugerah terindah yang pernah ku miliki favorit Ararinda. Sampai di bibir pantai, keduanya masih diam. Ararinda keluar mobil lalu duduk di kap mesin mobil depan. Seakan tahu apa yang akan terjadi setelah ini setelah menghadapi perubahan sikap Panji yang pelan-pelan terasa jauh, Ararinda memilih diam menikmati lantunan ombak bersahut-sahutan bersamaan angin yang menyapa ranting-ranting pohon.

Menuju BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang