Americano, music, book, and airplane mode. Perfect me time.
Sudah satu tahun sejak lulus menjadi sarjana manajemen, Ararinda bekerja di salah satu perusahaan F&B di Kota Yogyakarta. Hari-harinya sibuk, sengaja dipenuhi dengan setumpuk agenda agar ia tak punya waktu untuk mengurus kekacauan kehidupan pribadinya. Siang hari digunakannya penuh untuk bekerja, malam harinya diisi dengan hobby yang berubah sepanjang waktu. Seringkali sebelum tidur Ararinda membuat catatan di jurnal hariannya, kadang Ararinda melukis hingga tengah malam, kadang membaca buku dongeng anak-anak, sesekali membuat camilan sederhana di dapur, tak jarang ia gunakan malam hari untuk menata ulang pakaiannya di almari, dan setiap kali Ararinda terganggu dengan beberapa pikiran maka ia akan dengan sangat sadar membersihkan seisi rumah tengah malam.
Bagaimana dengan weekend nya?
Ararinda akan menghabiskan waktu di dapur bersama teman-temannya untuk membuat paket nasi kotak yang nantinya akan dibagikan di sepanjang jalan kota. Bukan tanpa alasan, sejak akhir kuliah Ararinda membuat gerakan sosial yang memiliki fokus untuk berbagi di jalanan bernama Between Us yang kini sudah melebar dengan banyak agenda sosial di setiap pekan. Jadi dalam satu bulan Ararinda hanya memiliki satu sampai dua kali waktu untuk sepenuhnya beristirahat tanpa gangguan. Teman-temannya biasa menyebut ini sebagai hari menghilangnya Ararinda.
Seperti yang sedang Ararinda lakukan sekarang. Di jam delapan pagi di hari Minggu Ararinda sudah sampai di salah satu taman Kota Solo, duduk di salah satu kursi panjang di bawah pohon rindang dengan buku Burung-Burung Kecil karya Kembang Manggis dipangkuannya. Matanya fokus menyusur kata demi kata yang terhampar di lembaran-lembaran buku, sesekali kepalanya menganggung-ngangguk ringan dan jari-jari tangan mengetuk-ngetuk kecil menikmati lantunan musik dari earphone di telinganya. Angin sejuk bulan November menyapa rambut hitam Ararinda yang terurai lepas, menemani kesendirian perempuan tanpa rumah ini.
Ararinda tergila-gila dengan perjalanan sendirian. Tidak peduli jauh atau dekat asal langkahnya menjadi perjalanan kebebasan dengan kesendirian maka Ararinda akan menyukainya, karena ia merasa pulang. Menunggu kereta datang, duduk di dalam gerbong kereta yang melaju kencang, berjalan di trotoar kota tanpa tujuan, menyaksikan kehidupan dari taman kota, menunggu matahari terbenam di pinggiran kota, menyaksikan pergerakan bintang dari atap gedung tinggi, semua ini membuat Ararinda merasa pulang. Karena ia hilang dan tak pernah ditemukan, maka perjalanan yang membuatnya merasa asing karena sendirian adalah pulang pada sebenar-benarnya hidup yang dimilikinya.
"Ma, aku nggak bisa ikut mama?" tanya Ararinda kecil untuk kesekian kalinya dan kesekian kalinya juga matanya pedas menahan air mata.
Hartina tetap sibuk mengepak pakaian, untuk ke sekian kalinya mengabaikan Ararinda kecil yang terus mengekorinya.
"Mama berapa lama di sana? Lebaran tahun ini aku sendirian? Mama setiap hari bakal telfon aku, kan? Kalau uangnya udah banyak, aku bisa nyusul Mama ke Kalimantan?"
Ararinda kecil tahu mamanya juga sedang menahan air mata. Sang mama pasti juga merasa berat meninggalkannya sendirian di tengah situasi keluarga yang berantakan ini. "Mama cuma bisa ngajak adik, Nduk. Kamu nggak bisa ikut mama dulu."
Tapi aku juga anak mama. Kenapa cuma adik yang diajak mama membuka lembaran baru di kota orang? Kenapa aku tetap di situasi ini, ma? Kenapa aku ditinggal bersama orang-orang yang mama jauhi? Setelah mama masuk ke dalam bus bersama adik dengan koper besar itu, aku pulang kemana, ma? Kalau nanti aku sakit siapa yang akan membuatkan surat ijin sakit untuk wali kelas? Ma, aku tidak pernah tahu cara menghadapi hidup sendirian setelah ditinggalkan.
Ararinda menarik nafas panjang dengan mata terpejam, lalu ia hembuskan pelan sembari pelan-pelan membuka mata melihat sinar matahari siang menerobos masuk dari sela-sela daun rindang. Setelah terpejam teringat kali pertama ia merasa ditinggalkan tanpa tahu bagaimana harus menjalani hidup sendirian tanpa pendampingan orang dewasa, Ararinda menyadari bahwa itu kali pertama juga Ararinda mulai membiasakan diri untuk turut menghilang pelan-pelan dari orang-orang yang melabeli diri sebagai keluarga tapi paling handal merusak hidup Hartina dan Ararinda.
Oh, pantas saja mama juga pergi menghilang. Ternyata rasanya melegakan. Meski sendirian tapi hilang dari orang-orang memuakkan adalah cara bertahan hidup paling tentram.
Suara klakson kendaran yang mulai bersautan menyadarkan Ararinda kalau hari mulai terik. Ia lihat jam tangan yang melingkar di lengan tangan kanannya, sudah jam sebelas siang. Ararinda harus segera ke stasiun untuk kembali ke kota Jogja. Minggu kali ini Ararinda tidak sepenuhnya menghilang karena sore ini ada janji temu dengan salah satu kawan team Between Us yang akan membantunya melebarkan agenda Between Us.
Yang kelak akan membantunya untuk tetap hidup. Yang memintanya untuk tetap bernyawa. Yang mengatakan kalimat yang sangat ingin di dengar Ararinda sejak lama.
"Kamu orang baik. Jangan mati dulu, ya. Aku lebih lega dengar kamu pergi menghilang dari aku dan dari semua orang untuk memulai hidup baru daripada harus dengar kamu mati konyol bunuh diri."
Perkenalkan, Adelargo Gaelan.
<<__>>
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Bandung
Teen FictionNamanya Ararinda Griswalda, perempuan gigih berani dari hutan kelabu. Setapak demi setapak hidup yang ia jalani membuatnya sampai pada rasa 'hilang'. Ararinda menyukai perjalanan seorang diri, di stasiun, ruang tunggu pesawat, halte busway, taman k...