|| Dari Sini, Kita Mulai

4 1 0
                                    

"Ra, aku ke rumah kamu jam empat sore, ya."

"Lho, bukannya kita mau ketemu jam dua siang? Aku udah sampai rumah lagi, nih."

"Sorean aja. Temen ku ini nggak suka kena panas."

"Yaudah, oke. Nanti kabarin aja jadinya gimana." Ararinda menghela nafas setelah menutup telfon dari Tyas, salah satu team di Between Us. Benar memang, siang ini Jogja cukup terik, ia tidak perlu terlalu kesal karena agenda bertemu Tyas dan temannya Tyas harus mundur,  hanya saja Ararinda tidak suka dengan perubahan-perubahan yang mendadak seperti ini. 

Jadi di sisa waktu sebelum jam empat sore digunakan Ararinda untuk membereskan sudut baca. Ruangan kecil di halaman belakang rumah yang Ararinda sulap menjadi ruang rahasia  untuk menyimpan perjalanan hidup di buku diary, buku-buku bacaan, dan lukisan-lukisan sederhana Ararinda, serta sedikit pecahan kaca tajam di dalam kardus karton kecil di belakang buku Sapiens. 

Di ruang ini, di dalam lembaran kertas buku diary dengan tinta hitam Ararinda berbisik tentang hidupnya. Tentang malam-malam yang ia habiskan untuk menangis hingga terlelap, meskipun kadang tidak kunjung terlelap karena dadanya seperti dihantam batu besar. Sesak. Tentang mimpi buruknya yang membuatnya tiba-tiba terjaga dari tidur dengan gemetar dan ratapan tangis. Tentang bekas-bekas luka di lengan kiri yang ditimpa berkali-kali dengan luka baru, meski kadang berpindah di telapak tangan kiri. Tentang lirik lagu favorinya yang ia tulis berkali-kali, I always wanna die sometimes milik the 1975.

Dua rak buku sudah beres, pernak-pernik seperti miniatur pesawat, toples kaca penuh origami bintang, dan lainnya sudah bersih dari debu-debu. Masih sisa satu jam sebelum Tyas datang, bisa dipakai untuk mandi sore sebentar. 

Selesai mandi sore dan memoleskan lip cream warna peach di bibir merah mudanya, Ararinda menemui Tyas yang baru saja sampai di ruang tamu. 

"Jadi ketemu dimana ini?" tanya Ararinda.

Tyas masih sibuk melihat layar ponsel, seperti sedang membaca pesan. 

"Di taman Bougenville, nih." Ararinda mengernyitkan dahi mendengar jawaban Tyas. "Enggak di coffeeshop gitu?"

"Enggak. Rumahnya dekat taman Bougenville, jadi ngajak ketemu disana aja. Yok, berangkat!"

Perjalanan dari rumah Ararinda ke taman Bougenville cukup dekat jika jalanan tidak padat. Lima belas menit perjalanan maka mereka sudah sampai di taman yang dimaksud.

"Kita tunggu di sini aja, biar kelihatan kalau dia dateng," ucap Tyas yang mengajak duduk di gazebo paling dekat jalan masuk taman yang menghadap arah parkiran kendaraan.

Ararinda melihat ke sekitar taman selama menunggu teman Tyas sampai. Sore hari dengan cuaca cerah, taman di isi dengan aktivitas rekreasi keluarga. Hangat dan cerah. Tidak lama sebuah mobil merah masuk ke area taman, parkir dekat dengan gazebo tempat mereka menunggu. 

Tyas tersenyum ringan melihat si pengemudi keluar dari mobil. "Ini dia udah dateng."

Seorang laki-laki berperawakan tinggi rupawan yang terlihat sangat pas dengan model potongan rambut cepak rapi tersenyum ke arah Tyas dan Ararinda. Kulitnya putih bersih dengan mata sipit dan lesung pipit kecil saat tersenyum. Tubuhnya yang proporsional dibalut dengan kaos hitam, terlihat semakin tinggi karena celana jeans warna cokelat selutut. Sandal jepit gunung, gelang hitam di tangan kiri, serta jam tangan karet hitam di tangan kanan membuat pembawaan laki-laki ini santai. Dan, menawan.

Ararinda mengakui bahwa karya Tuhan satu ini terlihat sempurna, bahkan ia belum berkedip sejak si laki-laki ini keluar mobil hingga kini berjalan ke arahnya. "Yas, aku baru tau kalau kamu nyimpen kenalan manusia serupawan ini."

"Udah dari tadi, Yas?" Bahkan suaranya, ya, Tuhan. Ringan dan lembut. 

"Nggak, sih, Mas. Baru sepuluh menitan. Ini tadi dari rumah, mas?"

"Dari rumah teman, sih. Oiya, gimana? Kamu jadi mau titip paket pakaian-pakaian untuk anak-anak yatim piatu?"

"Iya, jadi. Masih di parkiran, sih. Ini kenalin dulu founder Between Us, mas. Namanya Ararinda."

Hari ini, di taman kota yang hangat disiram sinar matahari sore, di tengah ramai cengkrama manusia lain di sekitar, di lewati angin ramah yang menyapu kulit tangan, Ararinda menjabat tangan laki-laki asing yang berdiri tepat di depannya. Perkenalan ini dibuka dengan senyum tipis yang kelak menjadi sebuah cengkrama cerita hidup, tawa renyah, dan ungkapan penuh keputus asaan. 

"Oh, hai. Teman kerjanya Tyas, ya? Aku Ararinda, teman kuliah Tyas dulu."

"Iya. Aku Gaelan." Namanya Gaelan, tepatnya Adelardo Gaelan. Tangannya cukup besar dan hangat untuk menjabat tangan kecil Ararinda yang sering kedinginan. Gaelan memiliki senyum tipis yang membuat matanya hampir hilang setiap kali senyum itu mengembang. 

Namanya unik. Gaelan. 

Sepanjang perjalanan pulang setelah perkenalan singkat terkait project Between Us, Ararinda masih terkesima  betapa Tuhan menciptakan Gaelan dengan begitu proporsional. 

"Dia emang cakep, sih. Di kantor masuk ke jajaran karyawan tampan. Love at the first sight, Bu?"

"Enggak, lah. Gila kali bisa langsung fall in love tanpa ngobrol panjang lebih dulu. Kagum aja gitu sama pembawaannya yang ringan seperlunya tapi sikapnya kelihatan dingin."

"Iya. Mas Gaelan emang dikenal dingin tapi bukan yang cuek menghindari society, kok. Ramah seperlunya. Aku aja juga nggak bisa dibilang temannya banget, sih. Kenal seperlunya karena emang Mas Gaelan baik."

"Ah, I see. Kita bakal ada perlu lagi nggak, sih, sama Gaelan?"

[]

Dari sini kita mulai perjalanan menuju Bandung setelah melalui banyak perjalanan bersama lainnya. Cari posisi duduk senyaman mungkin, siapkan teh hangat atau kopi hitam hangat dengan biskuit cokelat, dan selamat membaca cerita penuh kebetulan dari manusia yang sampai saat ini masih sering mempertanyakan.

"Kok, bisa, ya?"

"Bisa apa?"

"Kok bisa-bisanya manusia yang aku kenal di pinggir taman ini jadi manusia yang paling aku butuhkan untuk tetap mau hidup."

"I'm here. You still have me..."

<___>

<___>

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menuju BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang