|| Bandung. 2

13 0 0
                                    

Di jam enam pagi, kereta Kahuripan yang membawa ku beserta satu tas gendong berisi setumpuk rasa kehilangan yang aku bawa dari Yogyakarta sampai di Kiaracondong. Aku tidak buru-buru keluar gerbong kereta, butuh waktu untuk menghela nafas panjang menyadari mulai Sabtu ini aku tidak dibersamainya lagi. Aku melarikan diri untuk sembunyi di Kota Bandung seorang diri. 

Perjalanan ini aku mulai tanpa rencana. Jadi, yang pertama aku lakukan keluar gerbong kereta menuju kamar mandi untuk sedikit membersihkan diri berharap sedikit bagian dari diriku berfungsi dengan baik. Sayangnya cermin kamar mandi stasiun Kiaracondong tidak bisa berbohong. Pantulan diri ku di cermin ini lebih mirip manusia frustasi yang kehilangan kemampuan untuk hidup dibanding seperti traveller yang akan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di kota orang. Sungguh, hidup ku sebelum ini sudah sering kacau, tapi memulai hari dengan menyadari bahwa aku tidak memiliki genggaman lagi untuk menghadapi segalanya, rasanya kosong dan sunyi. Semesta seperti menjadi hening tanpa ujung.

Di dalam mobil taksi yang akan membawa ku sampai ke hotel, aku melihat matahari pagi Kota Bandung dari kaca jendela mobil. Masih pagi, sinarnya masih hangat. Toko-toko baru mulai dibuka, beberapa orang sedang menikmati olahraga jalan pagi, sebagian lagi menggerombol di warung makan untuk sarapan. Aku di dalam mobil, duduk menggenggam ponsel yang sejak semalam aku matikan. 

"Kamu lari dari apa?"

Dari kamu, brengsek! Kamu tahu betul kacau nya hidup yang harus aku jalani,  mimpi buruk yang harus aku hadapi setiap malam, dan seluruh trauma yang aku coba sembuhkan sendiri.  Kamu yang selama ini jadi rumah untuk setiap lelah ku, dengan sangat sengaja menjadi laki-laki brengsek yang dengan sadar aku cintai. 

Aku masukkan lagi ponsel ke dalam saku celana jeans ku, tidak menggubris pikiran untuk menyalakannya meski tahu betul manusia yang aku cintai itu sedang mencari ku. Aneh, bukan? Untuk apa tetap dicari di saat yang sama dia dengan penuh rasa sadar menjadi bajingan yang harus aku tinggalkan. Bodoh! 

Hotel tempat aku menginap ada di dekat jalan Asia - Afrika, sengaja memilih tempat ini karena yang ingin aku lakukan selama di Bandung hanya berjalan kaki seorang diri. Aku tidak ingin menikmati wisata kuliner atau tempat-tempat wisata lain, aku tidak ingin berbicara dengan orang asing seperti yang biasa aku lakukan disetiap perjalanan. Dunia ku sedang kacau, bagaimana bisa aku menyapa orang asing lalu membicarakan cuaca yang sedang sejuk sedangkan ada badai besar di dalam diri ku. Jadi setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dengan menyiram kepala di bawah shower kamar mandi, aku menghabiskan waktu dengan tidur. 

"Kamu beneran jadi pergi?"

Lantas, aku harus tetap tinggal? Aku harus tetap di tempat dimana kamu bisa menemui ku kapan saja? Aku harus tetap menjadi Ararinda yang sama di saat kamu harus menjadi Gaelan yang tidak lagi boleh sama? Konyol kamu. 

Sekeras apapun kamu menahan aku agar tidak pergi, pada akhirnya kamu yang harus pergi, Mas. Keras kepala ku untuk tetap ada di dekat mu tidak membuat pilihan mu berubah, kamu akan tetap pergi dan aku akan kesakitan seorang diri menunggu kamu menghampiri ku? Mas, aku tidak senaif itu. Sebesar apapun ruang untuk aku di dalam diri mu, pada akhirnya tidak akan membuat kita berjalan di jalan yang sama. You can go, no need to comeback.

Bandung hari ini akan menjadi memori. Awalnya terasa baru, lalu tertumpuk oleh memori-memori baru lain. Menjadi lawas dalam pikiran, mungkin tersimpan rapi atau justru terabaikan lalu menjadi usang. Sama seperti SMS yang baru saja aku lihat setelah bangun tidur di jam delapan malam. 

Wonderlwall :
Kenapa WA kamu malah dimatiin? Oke, take your time.
Jangan lupa jaga makan dan kopinya. 
Have a good day....

Kehancuran yang aku tenggak sendirian ini kelak menjadi alasan untuk aku berhak mendapat bahagia yang tak mampu aku takar jumlahnya. Kehilangan yang aku hadapi sendirian ini kelak menjadi pengingat untuk tidak menggenggam manusia lain dalam jangka waktu panjang. People come and go, I know. Tapi yang satu ini aku harap menjadi kali terakhir membuat hidup ku berserakan.

Dari balkon kamar terlihat lampu-lampu kota mulai menyala, kendaran-kendaraan di jalan sudah saling menyorotkan sinar. Sudah malam dan aku belum makan. Masih ada hari esok yang harus dijalani, jadi aku mencuci muka, meraih hoodie, dan berjalan tanpa tujuan pasti untuk mencari makan malam.

Langkah pertama, langkah kedua, langkah ketiga, menyeberang jalan, menginjak genangan air kecil di trotoal, melompat kecil menghindari genangan besar. Lampu kota, lampu teras toko, lampu lalu lintar, hiruk pikuk kendaraan, suara obrolan orang-orang, sejuk udara malam. Aku melewati banyak hal untuk sampai di tenda makanan yang aku pilih asal.

"Jangan suka nyisain makanan, besok di akhirat dipertanggungjawabkan, lho."

"Nah, banyak makan, dong! Biar nggak gampang sakit."

"Kamu mau makan apalagi? Aku temenin dulu, yok."

"Eh, disana ada makanan enak. Mau cobain, nggak?"

"Jangan suka makan makanan kemasana, lah. Makan makanan yang dikupas, bukan dikemas. Kurangin juga minyak, gula, tepung, biar asam lambung mu membaik."

Pada suapan kesekian, yang tidak aku hitung, aku berusaha menghabiskan nasi diatas piring. Aku tidak menyisakan makanan bukan karena pesan-pesan manisnya tempo dulu yang sering ia ucapkan dengan irama manis, begitulah terdengar di telingaku, tapi karena aku enggan membuang-buang makanan di perjalanan jauh ku ini yang sudah mengikis saldo rekening ku. Mungkin benar aku kehilangan akal sampai lari sejauh ini hanya untuk tidur - melamun - makan, tapi aku masih perhitungan perihal uang yang aku habiskan. Aku hanya tidak mampu berhitung berapa kilometer perjalanan dan berapa puluh jam yang harus aku lalui untuk menuntaskan rasa yang harus segera aku libas habis ini. 

Karena nyatanya pada suapan terakhir, aku masih ingin memberitahunya hal-hal kecil yang seisi dunia tidak perlu tahu, tapi dia harus tahu dengan binar mata dan senyum kecil, 

"Lihat! Kali ini aku makan sampai habis, mas."

Aku merasa getir. Bandung malam ini perih sekali.


<<___>>

<<___>>

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menuju BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang