"Boleh kenalin aku sama Ararinda kecil? Aku mau tahu cerita soal Ararinda kecil."
"Ararinda kecil itu murah senyum, beberapa orang bilang kalau anak kecil ini punya senyum manis. Waktu Ararinda kecil tanya sama Ibunya, apakah dia cantik? Ibunya jawab, Ararinda kecil meskipun bukan perempuan cantik tapi dia perempuan manis. Ararinda cukup puas dengan jawaban Ibunya, dia suka sekali pakai dress bermotif bunga, favoritnya dulu dress dengan motif bunga matahari. Meskipun pemalu Ararinda kecil selalu suka dikelilingi teman-temannya, kalau sudah nyaman bisa berubah jadi bocah cerewet banyak tingkah. Kamu tahu? Kedua tangannya pernah patah bersamaan karena jatuh dari tempat yang cukup tinggi karena ulahnya sendiri. Bibirnya pernah robek cukup dalam sampai berdarah banyak sekali karena suka melompat-lompat, kemeja putih polos ibunya jadi penuh bercak merah karena memeluk Ararinda. Ararinda kecil sering minta rambutnya dikuncir dua, seperti telinga kelinci, lucu katanya. Seperti seorang putri kecil, hadirnya Ararinda kecil disyukuri banyak orang."
"Apa Ararinda kecil dulu juga kadang suka marah-marah?"
Ia tersenyum menyeringai, matanya menatap jauh ke depan seakan sedang menyaksikan pertunjukan dari memori masa lampau. Sorot matanya sayu, sepertinya kesedihan sudah bersemayam lama di sana. "Ararinda kecil jarang marah. Kabar buruknya, Ararinda pelan-pelan tumbuh dengan cara marah yang beda dari teman-temannya. Ada satu kemarahan Ararinda kecil yang selalu aku ingat. Dulu Ararinda kecil suka sekali pakai aksesoris kepala, suatu hari jepit rambut kesayangannya tertinggal di rumah Kakek, di hari berikutnya sepulang sekolah dia langsung ke rumah Kakek buru-buru karena berpikir kalau jepit rambutnya pasti dipakai sepupunya. Dugaannya ternyata benar, dia berdiri di pinggir jalan dekat rumah Kakek menunggui sepupunya pulang. Begitu sepupunya sudah terlihat mengayuh sepeda mendekat ke rumah Kakek, kamu tahu yang dilakukan Ararinda? Coba tebak!"
"Jangan bilang kalau.."
"Iya." Lagi-lagi ia tersenyum miring, jenis senyuman yang membuat orang disekitarnya menjadi tidak nyaman. "Ararinda kecil tanpa mengucapkan apapun menarik setang sepeda sepupunya sampai sepupunya terseret di aspal jalan. Ararinda kecil nggak merasa menyesal, justru merasa lega. Yang menakutkan, bocah kecil ini bukan lega karena jepit rambutnya akhirnya ketemu, tapi lega karena sudah melihat sepupunya jatuh di aspal dan menangis."
"Apa yang merubah Ararinda?"
"Kekerasan."
Gaelan menghela nafas panjang, energinya turut serserap habis mendengar cerita perempuan di depannya ini. "I'm sorry to hear that, Ra."
Ararinda tersenyum tipis, namun tulus. Matanya kini kembali ke masa kini, menatap Gaelan dengan teduh. "Tahu nggak yang terburuk dari kekerasan yang terus-menerus didapat?"
Gaelan bergeming menunggu Ararinda melanjutkan ucapannya. "Awalnya sakit luar biasa lama-lama jadi hambar, yang terburuk justru aku jadi suka sama rasa sakit, Mas. Menyayat kulit lengan lalu mengucurkan air saat darah sedang merembes keluar dari kulit, rasanya menyenangkan."
"Aku sudah lama rusak. Ararinda kecil lagi duduk memeluk lutut sendirian, aku nggak bisa nolong Ararinda kecil. Aku terus-menerus lari dari memori ku sendiri, ninggalin Ararinda kecil dan sembunyi di tubuh orang dewasa yang mati rasa."
Gaelan mematikan rokoknya yang hampir habis, bersamaan asbak yang mulai penuh dengan abu rokok milik Gaelan sedari tadi. Kali ini Gaelan berhenti mengambil batang rokok, ia menatap Ararinda sungguh-sungguh.
"Ra, kamu bisa menemani Ararinda kecil, kok. Kamu tahu caranya, kamu tahu harus bagaimana."
Ararinda diam menatap bola mata cokelat milik Gaelan. Alih-alih kembali mengingat segala traumanya dan berdamai dengan masa lalu, ia ingin tersesat di dalam bola mata Gaelan.
"Berdamai dengan masa lalu, Ra. Kamu masih harus hidup! Aku lebih lega dengar kamu pergi ninggalin semua orang untuk melanjutkan hidup daripada dengar kabar kamu mati konyol."
"Warna mata mu bagus, Mas. Cokelat kayu."
[ ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Bandung
Novela JuvenilNamanya Ararinda Griswalda, perempuan gigih berani dari hutan kelabu. Setapak demi setapak hidup yang ia jalani membuatnya sampai pada rasa 'hilang'. Ararinda menyukai perjalanan seorang diri, di stasiun, ruang tunggu pesawat, halte busway, taman k...