"Tanggal berapa?"
"Ra.."
"AKU TANYA TANGGAL BERAPA?!"
"Tanggal dua belas Januari."
Aku hampir tidak pernah meninggikan suara ku di hadapan oranglain, aku tahu betul apa itu sopan santun. Tapi kali ini meninggikan suara ku saja rasanya tidak cukup. Dibanding mengusap air mata ku yang dengan kurang ajar tanpa ijinku mengalir lepas begitu saja, aku lebih ingin menghantam laki-laki yang berdiri di depan ku ini dengan batu, sama seperti yang ia lakukan, rasanya seperti dihantam menggunakan batu besar tepat di rongga paru-paru ku. Persetan denga sopan santun. Laki-laki ini tidak berhak mendapat sopan santun dari perempuan yang ia hancurkan hidupnya.
Sesak. Aku kesulitan mengatur nafas, seluruh organ gerakku melemas. Aku menatap tajam dengan perasaan marah pada sepasang mata cokelat penuh kesenduan milik laki-laki ini. Mata cokelat yang dulu sering aku tatap denga penuh kasih, yang diam-diam sering aku rindukan setiap bulan sabit atau setiap malam dengan hujan rintik yang membasahi rumput-rumput jalan. Kini tidak lagi.
"Good to hear that." Apalagi yang harus aku katakan? Tidak ada. Itu respon terbaik yang bisa aku berikan selain menghantamnya dengan batu besar dan meneriakinya bajingan.
"Ra.."
Ia masih berdiri diam di tempat, mungkin menerka-nerka respon apalagi yang bisa aku tunjukkan. Atau mungkin mempersiapkan diri kalau-kalau aku dengan sigap menancapkan pisau tajam tepat dijantungnya. Bagaimanapun juga dia yang paling tahu senekat apa aku pada semesta.
Tidak. Aku sedang tidak membawa pisau, pun aku tidak sedang ingin mengumpat apalagi menuntut penjelasan. Aku tidak butuh penjelasan apapun. Aku tidak pernah membutuhkan alasan dari orang-orang yang menghancurkan aku.
Aku mengusap mata ku, menghentikan banjir besar di sana, menutup mata untuk mengatur nafas. Semua rasa hancur ini akan aku simpan sendiri tanpa perlu pertanggungjawaban darinya. Aku tidak membutuhkannya lagi. Jadi aku mengeluarkan ponsel ku, membuka aplikasi KAI Access lalu memesan tiket kereta ke kota Bandung untuk keberangkatan tanggal sebelas.
"Maaf kalau.."
Aku menunjukkan layar ponsel tiket keberangkatan yang baru saja aku pesan.
"Sorry, aku harus ke Bandung."
Tidak ada lagi yang ingin aku sampaikan, tidak ada lagi rasa rindu pada sepasang mata cokelat itu atau pada suara lembut yang selama ini aku cari setiap kali merasa berantakan. Lucunya, justru kali ini sorot mata cokelat dan suara lembut milik laki-laki ini yang paling besar perannya membuat aku berantakan. Jadi aku memalingkan badan, berjalan menjauh darinya tanpa menoleh menuju tempat aku memarkirkan kendaraan.
Aku membiarkannya berdiri sendirian di teras coffeeshop yang biasa kami datangi bersama. Aku tidak lagi bisa berdiri berdampingan atau duduk berhadapan menikmati kopi buatannya sembari menunggu rambut kami berubah warna menjadi abu-abu perak dan matahari tenggelam cantik pada hari dimana kami menua bersama seperti dongeng yang aku lukis pelan-pelan dalam benak setiap kami saling bercerita perihal hidup.
Dongengnya berhenti. Tidak dengan rambut abu-abu perak, tidak dengan matahari di usia tua kami, tidak dengan menua bersama. Dongeng berhenti tepat saat aku tidak lagi berhak menatap sepasang mata cokelat itu lama-lama.
Aku memasuki mobil, duduk memeluk kemudi mobil denga isakan tangis yang aku tahan sendirian. Ia tidak menyusulku ke parkiran dan aku tidak mengharapkan adegan itu terjadi. Tindakannya tepat untuk tidak lagi mendatangi aku.
Persetan dengan pekerjaan, aku menelfon Vito untuk mengabarinya perihal keberangkatan ku ke Bandung. "Halo, Vit?"
"Tumbenan telfon, biasanya cuma whatsapp doang. Kenapa, Ra?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Bandung
Teen FictionNamanya Ararinda Griswalda, perempuan gigih berani dari hutan kelabu. Setapak demi setapak hidup yang ia jalani membuatnya sampai pada rasa 'hilang'. Ararinda menyukai perjalanan seorang diri, di stasiun, ruang tunggu pesawat, halte busway, taman k...