|| Di Bawah Pohon Kersen

13 1 0
                                    

Setelah perkenalan sebatas nama dengan Gaelan di taman tempo hari, obrolan dengan Tyas mengenai Gaelan terus mengalir. Tyas menjadi lebih banyak bercerita tentang Gaelan yang menurut Ararinda justru terdengar seperti anak remaja yang antusias menceritakan tokoh utama favoritnya yang ada dalam novel-novel best seller. Tipikal tokoh utama yang digilai banyak perempuan.

Dari cerita Tyas yang menggambarkan kepribadian Gaelan, Ararinda menyimpulkan bahwa frekuensinya dengan Gaelan sepertinya jauh. Ararinda menyukai orang-orang yang banyak bercerita, yang sering tertawa saling melempar lelucon, yang antusias menceritakan apa saja yang disukai, yang tidak terlihat dingin seperti Gaelan. Lagipula, dari interaksinya dengan Gaelan kali pertama bertemu, Ararinda memang tidak berminat untuk mengenal lebih jauh, hanya sekedar kerjasama memperluas pergerakan Between Us. Gaelan memang menawan, itu saja.

Sampai akhirnya dunia mengijinkan Ararinda untuk melihat lebih dekat kehidupan Adelardo Gaelan.

Baik tapi dingin. Mudah tertawa hanya dengan teman-teman terdekatnya. Menawan tapi terlihat sulit diajak berkawan. Gaelan bukan social butterfly, ia justru lebih nyaman jauh dari sorotan society. Gaelan memiliki dunianya sendiri, hanya dirinya yang berhak memilih siapa-siapa saja yang boleh masuk ke dalam dunia kecilnya yang menyenangkan. Dunia kecil yang penuh ketenangan, penuh kabut beraroma kopi, penuh aliran obrolan yang disiram sinar matahari terbit, dan dunia yang penuh rasa aman.

Memasuki dunia milik Gaelan seperti memiliki tempat rahasia untuk sembunyi dari kacaunya hidup yang dimilikinya. Menentramkan. Karenanya, Ararinda dengan senang hati terjebak di dalamnya untuk waktu yang lama.

"Jadi idola orang kantor, ya?"

Sembari mengambil minyak goreng dari rak supermarket dan meletakkannya di trolley yang didorong Ararinda, Tyas masih terus bercerita. "Ya, gitudeh. Karena emang di kantor termasuk jajaran karyawan good looking. Tapi dia emang nggak pernah kelihatan ngasih lihat kedekatan sama cewek-cewek kantor, sih."

"Eh, kita belum ambil gula pasir, ya?" imbuh Tyas.

"Belum. Gula pasir nanti terakhir aja, sekalian jalur ke kasir. Kalau sama kamu, gimana? Kan, kalau sama kamu ada urusan di luar kantor juga."

Sepuluh minyak goreng sudah masuk ke dalam trolley. Tyas memimpin di depan trolley yang didorong Ararinda, menuju ke tempat teh.

"Yaelah. Kan, aku udah bilang kalau dia emang ramah. Ramah profesional gitu aja. Kalau sama yang lain juga sama. Ada juga, kok, yang temenan lebih dekat, tapi ya cuma teman. Pokoknya dia misterius, deh."

"Kamu nggak tertarik gitu? Biasanya kalau misterius gitu jadi ada rasa tertantang buat di deketin."

Tyas terkekeh pelan. Ararinda sudah tahu jawabannya. "Males, ya? Iyalah, kamu aja suka sama orang lain yang jelas-jelas di depan mata juga males buat deketin. Aneh lu."

Keduanya tertawa di depan rak teh. "Masih banyak urusan lain, selain main tebak-tebakan di dalam labirin hati. Tau sendiri, kan? Betapa pemalasnya aku ini."

"Pemalas betul sampai urusan hati aja nggak mau diurus dari dulu."

Setelah selesai belanja paket sembako untuk dibagikan ke area baru, Ararinda dan Tyas menuju ke mobil. Jalanan kota sore ini cukup padat, kecepatan mobil yang dikendarai Ararinda hanya jalan 40 - 60 km/jam. Tapi Ararinda tidak pernah mempermasalahkan hal-hal yang memang di luar kendali dia. Jadi sembari jalan, Ararinda memutar musik milik Sheila On Seven, Anugerah Terindah Yang Pernah Ku Miliki. Lagu favoritnya sejak dulu sekali. Alunan melodinya, penulisan liriknya, dan tentu saja pemain utamanya, Duta.

"Tikungan depan itu kita ke kanan apa kiri? Jangan mendadak, nih."

Tidak ada jawaban dari Tyas, Ararinda menoleh ke kiri. Tyas masih menunduk khidmat membaca peta di layar ponselnya. "Yas, jangan bilang kalau..."

Menuju BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang