Aku rasa ada lubang besar menganga di dalam diriku. Kosong, hampa. Di dalam mobil, di jalanan kota Bandung jam sembilan malam, melewati aspal-aspal basah yang sejak siang diguyur hujan ringan, melewati lampu-lampu kota yang menyala redup menerangi hewan-hewan kecil beterbangan tak tentu arah, melewati pohon-pohon rindang berwarna hitam karena diselimuti malam, aku duduk diam melihat tetes-tetes hujan yang jatuh menubruk kaca jendela mobil. Aku diam. Seperti yang aku lakukan kemarin-kemarin sejak sampai di Bandung.
Aku diam. Seperti sedang pasrah dibunuh kehilangan dengan sadis, dengan pelan-pelan. Pelan-pelan aku kehilangan laki-laki yang selama ini aku jadikan tumpuan, lalu pelan-pelan aku kehilangan diri ku sendiri yang bodoh sekali lupa cara kembali melanjutkan hidup tanpa tumpuan, lalu pelan-pelan aku dibunuh sepi luar biasa padahal manusia buta bahkan bisa mendengar ramainya semesta ini.
Aku masih belum menemukan kebenaran jawaban yang aku utarakan pada Vito di warung tenda pinggir jalan tadi saat kami bertemu untuk membuang waktu menunggu kereta kepulangan ku di jam sepuluh malam. Di tanggal tiga belas hari terakhir ku di Kota Bandung, Vito menyempatkan waktu sepulang kerja untuk mendengarkan celotehan temannya yang jauh-jauh datang ke Bandung untuk menyombongkan rasa putus asanya.
Setelah menikmati jalan kaki di atas aspal basah dengan hujan ringan, yang selalu menjadi momen favorit ku, Vito mengajak ku untuk mencoba salah satu warung tenda yang tidak terlalu ramai. Aku pesan ayam goreng, Vito memilih nila goreng. Bandung malam ini dingin, teh panas manis yang aku genggam memberi rasa hangat yang cukup menenangkan. Sambil menunggu makanan datang, kami membicarakan rencana-rencana jangka panjang kedepan, seperti salah satunya,
"Pulang dari Bandung, kamu bakal gimana?" percayalah, pertanyaan ini membuat ku harus berpikir lama. Lama sekali. Karena, sungguh! Setelah melewati banyak perjalanan bersamanya, aku tidak pernah memiliki rencana untuk menua tanpanya.
Aku diam. Melihat keluar tenda warung, mengisi gendang telinga ku dengan suara-suara pengamen yang lebih mirip suara ribut-ribut tetangga.
Vito sialan! Bagaimana bisa ia tahu persis pertanyaan yang harusnya aku tanyakan pada diri ku sendiri sebelum aku berangkat ke Bandung?
Bodoh! Aku ke Bandung tanpa rencana. Impulsif menuruti hati yang bahkan tidak berfungsi lagi hanya untuk lari dari kehilangan. Lantas setelah ini? Apa rasa kehilangan ku tertinggal di Bandung? Lihat! Masih banyak sekali. Aku kantongi di seluruh saku celana jeans ku, di saku-saku jaket ku, di dalam tas ku, di kepala ku, tercecer di semua organ tubuh yang tidak mau diajak bekerja sama akhir-akhir ini.
"Melanjutkan hidup, lah. Apalagi?"
"You will be okay. Not for now, but someday, Ra."
"Kayak peramal kamu, Vit."
Iya. Peramal gadungan. Bisa-bisanya Vito mengatakan aku akan baik-baik saja nanti padahal sekarang saja aku kehilangan fungsi sebagai manusia utuh.
"Balik ke Bandung lagi aja kalau kamu emang pincang di sana."
"Nggak, lah. Aku udah nggak bisa lagi sehancur ini. Ini yang terakhir."
Aku menghela nafas panjang, menghentikan lamunan dan seluruh keramaian di dalam kepala. Aku sudah sampai di stasiun untuk pulang. Pulang pada kesendirian. Tiket kereta sudah ku kantongi, bersama dengan rasa kosong dan sepi yang aku bawa pulang lagi. Hujan berhenti, hanya satu dua tetes yang menabrak aspal setelah tersangkut di dedaunan pohon-pohon rindang. Tapi, sungguh, semesta harus percaya bahwa air mata ku bahkan sudah tak ada lagi yang tersangkut di mata. Semua sudah mengalir keluar membasahi pipi berhari-hari. Setidaknya, aku tidak lagi menangis di perjalanan pulang dari Bandung.
"Thank you for today, Vito! Aku balik dulu," ucapku pada Vito yang mengantarku sampai di pintu keberangkatan kereta.
Vito menatapku penuh ragu. Seperti seorang kakak yang melepas adik kecilnya untuk pertamakali di gerbang taman kanak-kanak. Ragu apakah anak kecil ini bisa dibiarkan begitu saja atau perlu ditemani. Apakah anak kecil ini akan baik-baik saja?
"I'll be okay. Biasa aja dong liatnya. Hahaha. Balik sana, keburu pagi."
"Besok kalau main ke Bandung lagi jangan karena kabur hancur begini ya, teh. Life must go on. Kabarin kalau udah sampai, ya."
"Gimana mau lebih hancur, Vit. Habis ini aku udah nggak tau lagi gimana caranya sayang sama oranglain, udah habis semua."
Vito tersenyum tipis, miris melihat teman semasa kuliahnya dulu yang paling sering melempar jokes di tongkrongan bisa berubah seperti manusia ling-lung yang kesadarannya berserakan.
"Aku ke kereta, ya. See you when I see you again, aa' bandung!"
<___>
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Bandung
Teen FictionNamanya Ararinda Griswalda, perempuan gigih berani dari hutan kelabu. Setapak demi setapak hidup yang ia jalani membuatnya sampai pada rasa 'hilang'. Ararinda menyukai perjalanan seorang diri, di stasiun, ruang tunggu pesawat, halte busway, taman k...