BAGIAN II

485 84 10
                                    

Arai is hella attractive and everyone says so. Semua tidak buta untuk menancapkan pandangan pada presensinya. Dengan tinggi tubuh seratus delapan puluh satu sentimeter, hidung mancung dan rahang tegas, dihiasi pula dengan rambut yang kali ini berwarna ash grey-paling tidak sanggup membuat siapapun menoleh setidaknya untuk tiga detik.

Apalagi dengan latar belakang keluarga yang bergelimang harta, nama Arai semakin menanjak pada piramida teratas. Putra pertama dan satu-satunya yang akan mewarisi Ravenite Airlines, perusahaan jasa penerbangan kelas atas yang menjadi pioneer penerbangan eksklusif. Arai bak pangeran yang mengubah jalur jalannya menjadi jalur emas. Tidak tersentuh, terlalu berkilau untuk didekati.

"Ini Kak Arai, ada bonus dari UKM Cooking Club. Semangat untuk FISIP FAIR-nya, ya, Kak!"

Arai mengembangkan senyum tipisnya. "Terima kasih."

Kuasa si pemuda menerima dua paper cup yang ditaruh pada bundling package ramah lingkungan. Gadis yang memberinya tadi adalah anggota Cooking Club, UKM yang saat ini tengah menjadi relawan makanan dan minuman gratis untuk para siswa-siswi SMA yang mengikuti ujian masuk Decelis College. Arai tadi menyempatkan diri untuk mengecek karena Gedung FISIP adalah tempat mereka mendirikan tenda. Jadi, keberlangsungan UKM itu pula menjadi tanggung jawabnya. Tapi setelah dia rasa semua berjalan aman, kakinya melanjutkan langkah menuju arena parkir.

"Arai! Arai!"

Suara tersebut sedikit menggelitik rungu Arai. Arena parkir yang berada dibawah tanah yang kosong membuat gema panggilan itu terdengar. Arai enggan menoleh. Dia tahu persis siapa yang memanggil. Kesalnya masih berada di ujung pelipis. Maka langkahnya terus saja berlanjut, membiarkan si pemanggil berdecak dan berusaha berlari menyamakan langkah.

"Lo jangan gitu dong, Rai!" Daniel, si pemanggil, akhirnya berhasil menyamakan langkah si yang lebih tinggi. Nafasnya terengah-engah selagi belah bibirnya berusaha melantunkan kalimat lanjutan. "Gue minta maaf!"

Teriakan yang bergema itu cukup membuat Arai menghentikan langkahnya. Daniel kini sudah berdiri di depannya, benar-benar membuat blokade dengan tubuhnya sendiri. Pemuda itu menatap Arai dengan wajahnya yang lelah. Sungguh, kepalanya tidak mampu memproses apapun lagi.

"Emang minta maaf yang bener itu kayak gitu, ya? Baru tau."

Daniel mendesah lelah. "Gue nggak sengaja telat, kok. Oke, gue ngaku salah. Tapi gue bener-bener nggak sengaja. Ngapain juga gue bikin orang lain ribet karena gue."

"Ya, itu lo sadar. Paham kan kalau kesalahan lo hari ini itu bikin ribet?" Arai berkata penuh sarkasme. "Anak SD aja bisa kok minta maaf dengan cara yang lebih benar."

Arai melanjutkan langkah. Daniel kembali dipenuhi binar panik dan buru-buru kembali menahan langkah pemuda tersebut dengan menggenggam lengannya. "Rai. Oke, oke, please." Daniel menghela nafas panjang. "Gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf. Kejadian dan kesalahan ini gak akan terulang. Gue janji."

Dwimanik coklat milik Daniel menatap tepat pada bola mata hitam berkilau milik Arai. Keheningan tergantung di antara mereka sebelum Arai kembali melangkah. Daniel tiba-tiba kembali panik, hingga menahan kembali lengan si pemuda.

"Rai, gue nggak dimaafin, ya?"

Langkah Arai kembali terhenti. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, membuat genggaman jemari Daniel pada lengannya terlepas. Arai kemudian mengambil langkah pelan segaris dengan posisi berdiri pemuda Everette. Daniel mau tak mau terus mundur, hingga punggungnya menabrak pelan tiang pembatas parkir yang besar. Arai menumpukan satu tangannya pada tiang, membuat Daniel terperangkap.

"Intensi lo minta maaf itu beneran murni merasa bersalah atau ada yang lain?"

Daniel meneguk ludahnya. "Gue tulus, kok. Gue emang merasa bersalah."

Satu alis Arai terangkat, matanya total mengintimidasi presensi Daniel. Pemuda Everette tersebut menjadi berdiri tidak tenang. Parfum Arai yang mahal memanjakan hidungnya dengan jelas. Otaknya menjadi tiba-tiba tak berfungsi.

"Yakin?"

Lagi-lagi, Daniel meneguk ludahnya. Matanya menatap Arai dengan binar penuh antisipasi. "Gue.. Masalah ini nggak akan bikin Yayasan keluarga lo cabut beasiswa gue, kan?"

Penggalan kalimat Daniel sukses membuat senyum miring Arai tercipta. Pemuda itu kembali menegakkan tubuhnya, membuat perangkap tangan sukses terlepas. Daniel hendak menghela nafas lega, sebelum kalimat balasan Arai menancap tepat di ujung palung hatinya.

"Well, ketebak. Lo cuma peduli sama diri lo sendiri. That's pathetic, Everette. Very Pathetic."

.
.
.
.
.

To be continue..
.
.
.
.
.

POJOK AUTHOR.

Lechugoooooooo voteeeeeee.

[SUNGJAKE] - Pangeran Gagak dan Tuan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang