Bab X

696 82 30
                                    

"Iya, Kak," Daniel menggigit bibir bawahnya ketika sambungan teleponnya dengan sang kakak, Eustacia, masih berlangsung. "Aku pulang telat. Mungkin lewat jam makan malam. Hu'um, Kakak juga hati-hati di jalan, ya? Dari kantor polisi langsung pulang aja. Oke, Kak. See you."

Selepas sambungan telepon terputus, Daniel kembali menghela nafas kuat-kuat. Pemuda itu telah berada di muka lahan parkir bawah tanah Decelis College. Entah bagaimana kaki mampu melawan logika dan justru menuruti perintah Arai. Ketidakmampuan Daniel dalam mengendalikan kontrol diri kembali hadir, menyiksa.

Dalam perjalanan menuju titik mobil Arai terparkir, pikiran sang adam berkelana pada konteks retoris. Maksudnya, pertanyaan-pertanyaan normal memenuhi kepala dan sialnya sama sekali tidak bisa Daniel urai. Pemuda itu bahkan mencoba membuat timeline khusus tentang bagaimana dirinya dan Arai mulai bersinggungan.

Mungkin dimulai pada acara penerimaan mahasiswa baru, dua tahun yang lalu.

***

Dua tahun yang sebelumnya...

Masa PPKMB Decelis College mungkin setingkat lebih meriah dari universitas lainnya. Tidak ada rundown berdandan aneh dan lain-lain. Kewajiban mereka agaknya hanya wajib memakai nametag berisi nomor mahasiswa dan nama masing-masing. Tapi, tentang keisengan ataupun tantangan dari senior, tetap tersedia. Bagian ini yang sebenarnya sangat Daniel sayangkan.

"Kok diem?" Sahutan keras dari ujung barisan terdengar. Pekiknya cempreng, tapi tak ada satupun yang berani membantah. Dialah Madeline, ketua pelaksana PPKMB. Semampai dengan mata khas asia yang tajam menatap. Siapapun segan, termasuk seorang mahasiswa baru yang kini kikuk menunduk di hadapannya.

"M-maaf, Kak.."

Bukan tanpa alasan sebenarnya. Mahasiswa baru itu melanggar perintah dasar; kehilangan nametag dan tidak memakai sepatu hitam yang memang diwajibkan. Alasannya pun terlampau menantang, setidaknya itu yang Daniel pikirkan.

"Maaf terus. Saya lagi nanya. Kemana nametag kamu? Kenapa sepatu kamu gak sesuai aturan?"

Selain dari gemertak gigi di antara suara Madeline, tidak ada lagi yang mencoba menahan kata-kata tersebut keluar dari bibir sang dara. Bahkan Ketua BEM saat itu, Rivaille, cenderung acuh seolah apa yang dilakukan gadis itu adalah memang bagian wajar dari acara.

Sesungguhnya, Daniel merasa banyak rasa tercampur dalam hatinya. Separuh nyeri, separuh takut. Dia kehilangan kemampuan untuk merasa absolut dalam berpendapat. Pemuda itu hanya diam seperti yang lain. Sebelum suara lantang, yang tepat berada di belakangnya, memekakkan telinga.

"Interupsi." Suara itu membuat seluruh kepala menoleh. Adalah mahasiswa baru yang juga sama seperti mereka, hanya lebih tinggi dengan kulit seputih salju. Rambutnya hitam legam dengan mata seperti pinguin namun sungguh tajam. Arai Atsuzawa, begitu tulisan yang ada dalam nametag.

"Kapan saya meminta kamu untuk menginterupsi saya?" Madeline menantang.

"Tidak pernah." Arai mengakui. Namun anehnya, tidak ada sebersit ketakutan dalam nadanya. "Tapi juga tidak ada larangan untuk saya berdiri meminta interupsi."

Satu alis Rivaille, si Ketua BEM, naik perlahan. Pemuda tingkat tiga itu agaknya cukup tertarik hingga bersuara, "jadi apa tujuan kamu minta interupsi?"

"Menurut saya ini udah di luar batas kemanusiaan. Kalau memang ada mahasiswa baru yang berbuat salah, bawa mereka ke ruangan khusus, bukan dipermalukan di depan semua temannya."

"Jadi menurut kamu kita harus melakukannya tanpa transparansi?"

"Transparan atau tidak itu berdasarkan persepsi. Tergantung bagaimana niat kalian memberi pelajaran." Arai semakin tidak dibentengi ketakutan. "Jika pertanyaannya saya balik, apa tujuan transparansi kalian saat ini, yang justru terlihat seperti perilaku inhuman dari sesama manusia?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[SUNGJAKE] - Pangeran Gagak dan Tuan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang