BAGIAN IV

448 71 8
                                    

Entah apa yang membuat Daniel selalu berurusan dengan Arai dalam dua hari ini. Dia memandang mobil polisi yang datang. Pria setengah mabuk tadi dibawa paksa. Seorang polisi yang bertindak sebagai pemimpin bahkan mengangguk sopan pada Arai dan gadis tadi, Ayumi. Astaga, dia  baru tahu jika Arai memiliki adik perempuan. Pantas saja wajah gadis itu familiar.

“Dik,” Seorang polisi menghampiri Daniel. “Kami butuh kesaksian anda. Boleh ikut kami sesaat ke kantor?”

“Kalau besok aja gimana, Pak? Dia juga punya luka yang harus diobati.”

Tahu-tahu saja, Arai sudah melangkah mendekat dan berada di sampingnya. Kali ini, pria itu memakai kaus hitam dan celana olahraga berwarna senada, sangat kontras dengan kulitnya yang seputih salju. Ayumi yang sudah memakai mantel panjangnya turut berdiri di sisi sang kakak. Melihat itu, Daniel benar-benar yakin tentang satu hal. Mungkin keluarga Atsuzawa bukanlah manusia. Atau paling tidak, mereka tidak sepenuhnya diciptakan Tuhan dari tanah. Dari berlian, mungkin.

“Oh iya, bisa kok bisa!” Pemimpin polisi tadi menyela. Daniel bisa melihat matanya memberi peringatan non-verbal pada bawahannya tadi. “Karena udah malam juga, kan. Mungkin memang lebih baik Den Arai, Non Ayumi sama temennya pulang dan istirahat dulu. Besok kita kasih kabar lanjutan.”

Oh, asyiknya jadi orang kaya. Daniel hampir mendengus namun berhasil ia cegah. Dia memilih untuk menurut saja karena sama sekali tidak masalah kapanpun dimintai keterangan sebagai saksi. Ujung matanya melirik pada bucket ayam yang terlempar dan penyok. Astaga, ayam untuk kakaknya.

“Kak, habis ini kita anterin Kakaknya pulang dulu, ya. Kasihan kalau sendirian.”

Daniel mendengar Ayumi berbicara ketika para polisi telah pergi. Dia buru-buru mengibaskan tangannya. “Nggak usah, nggak usah. Gue bisa naik bis aja.”

“Nggak.” Arai menyahut. Dia menggenggam lengan adiknya pelan. “Kamu pulang sama supir. Mama udah on the way dari bandara. Kamu harus sampai di rumah sebelum dia.”

Wajah Ayumi berubah terkejut dengan sedikit aura khawatir. “Oke, oke. Tapi Kak Arai anterin Kakaknya sampai rumah, ya?”

“Iya.”

Ayumi mengembangkan senyumnya kembali sebelum beralih pada Daniel lagi. “Kak, sekali lagi, makasih banyak, ya, udah mau nolong aku. Aku pasti balas semua kebaikan Kakak. Tapi, kayaknya belum bisa malam ini…”

“Nggak apa-apa. Gue ikhlas kok nolongnya.”

Gadis itu tersenyum lebar sekali lagi sebelum memberi lambaian akhir dan masuk kedalam mobil. Kendaraan itu melaju membelah jalanan, meninggalkan Arai dan Daniel berdiri tepat di sisi mobil pemuda yang lebih tinggi. Daniel berdehem.

“Gue beneran bisa naik bis aja, kok. Lo nggak perlu…”

“Masuk.”

Daniel menelan ludahnya untuk meminimalisir balasan kesal keluar dari belah bibirnya. Mati-matian dia mengingatkan diri jika nasib pendidikannya sangat bergantung dari Yayasan yang keluarga Atsuzawa bina. Maka lebih baik dia menghindari kemarahan Arai. Walaupun ujung hatinya masih tercubit akibat ucapan pria itu kemarin.

Pemuda Everette akhirnya menurut saja. Mereka berdua memasuki mobil sedan hitam metalik milik Arai. Tanpa suara, Daniel memasang sabuk pengaman sebelum Arai kembali memarahinya. Dia lelah sekali hari ini. Rasanya sudah tak sanggup mendengar ombak emosi apapun.

Thank you udah nolongin Ayumi hari ini.”

Kalimat itu membuat Daniel yang tengah menyandarkan kepalanya di kaca segera menoleh. Arai masih fokus pada jalan didepannya. Sama sekali tidak memberi atensi pandangan yang sama ke pemuda Everette. Jadi, Daniel hanya mengangguk kecil dan kembali bersandar pada kaca.

“Sama-sama. Tadi gue ngikutin insting aja, kok.”

Jawaban tersebut sedikit membuat ujung mata Arai memandang Daniel sebelum kembali fokus pada jalanan. Ujung bibir pemuda itu terluka sedikit, sejauh yang Arai dapat tangkap dalam pandangan. Jadi karena itu, ia memutar setirnya, berbelok kearah yang lebih menjauh dari tujuan awal. Daniel terkesiap.

“Rumah gue harusnya belok kiri, Rai.”

“Kita ke rumah sakit dulu.”

*** 

Daniel sama sekali tidak menolak ketika Arai membawanya untuk memeriksakan luka. Dia menurut saja walau kesal. Ia bahkan tak memperhatikan ketika Arai tidak ada di saat ia diperiksa dan baru muncul ketika waktunya menebus obat pada loket farmasi. Pemuda itu memberi sekantung obat pada Daniel. Mereka kembali ke mobil dengan skala komunikasi yang sama sekali tidak bertambah.

Tapi, Daniel sedikit tertegun ketika Arai menaruh plastik berisi bucket ayam goreng di atas pangkuannya. Wangi khas ayam goreng dan hangatnya plastik itu menandakan makanan tersebut baru saja dibeli. Daniel mengedipkan matanya tak percaya. Arai memperhatikan makanan yang bahkan hampir ia lupakan dan pergi untuk membelinya?

Thank you.”

Arai membalas hanya dengan deheman pelan. Itu sudah cukup bagi Daniel. Karena dia sendiri tidak tahu harus berbasa-basi apalagi setelah ini. Di kampus, Arai terkenal sebagai pribadi yang tenang yang hanya berbicara ketika dia memang perlu berbicara. Bahkan selama perkuliahan, Daniel hanya melihat Arai bergaul dengan Earl, Fieverio dan Leon. Mereka berempat beberapa kali makan bersama. Kabarnya, keempatnya sudah mengenal sedari kecil. Oh, Tuhan. Drama Korea dengan empat cowok kaya itu mungkin memang benar-benar ada di dunia nyata.

Perjalanan mereka hanya dilalui dalam keheningan. Arai hanya fokus pada setir dan arah yang diberikan oleh maps. Daniel telah memasukkan alamatnya kesana. Jadi, dia pun merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara keduanya. Daniel baru mengambil sikap antisipasi ketika mobil Arai memasuki kawasan rumahnya.

“Nanti berhenti di depan jalan aja.”

Arai memberi jeda sebelum berkata, “emang kenapa?”

“Nggak apa-apa. Itu soalnya jalan buntu. Nanti lo ribet muternya.”

Arai memilih untuk menurut. Mobilnya berhenti tepat di depan jalan menuju rumah Daniel. Pemuda Everette melepas sabuk pengaman dan mengangguk padanya.

“Makasih banyak untuk ayam dan obatnya ya, Rai. Besok gue ganti uangnya.”

“Nggak usah.” Arai menyahut. “Itu ucapan terima kasih gue. Lo nggak perlu balas apapun.”

Bibir Daniel terkatup sebelum membentuk senyuman ramah. Dia mengangguk dan segera pamit dari kendaraan Arai. Dari balik kaca, dapat terlihat Daniel berlari pelan menuju rumah paling ujung. Bersamaan dengan itu, seorang gadis yang lebih dewasa membuka pagar untuk menyambut Daniel. Wajahnya khawatir saat melihat luka pada pipi sang pemuda. Arai tertegun. Sama seperti Daniel, dia baru tahu jika pemuda itu memiliki saudara perempuan. 

.
.
.
.
.

To be continue...
.
.
.
.
.

POJOK AUTHOR.

Letchugo~ (alias bingung mau ngomong apa yah)

[SUNGJAKE] - Pangeran Gagak dan Tuan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang