Bagian VIII

487 74 22
                                    

"Satu summer parfait cake, satu chocolate waffle dan dua iced americano."

"Ready, mohon ditunggu sebentar."

Daniel bergerak cepat menerima pesanan dan segera berpindah pada mesin kopi. Sementara Akio sibuk mempersiapkan dua piring camilan yang juga dipesan. Bau menyenangkan kopi merasuki indra pencium siapapun yang ada disana. Dua gadis menunggu pesanan mereka di satu meja.

"Udah siap,  Kak?"

Daniel mengangguk. "Udah, nih, Ki. Tolong anterin, ya."

"Siap~"

Daniel Everette kembali pada spot kasir untuk menyelesaikan pesanan, Pemuda berambut light brown itu cekatan memindahkan data. Tamer mungkin bukan kafe besar dan mewah, tapi mereka memiliki pelanggan setia. Daniel sendiri masih menikmati pekerjaannya, karena walaupun tak besar, gaji disini cukup memenuhi keperluan mendadaknya.

Sebagai seorang yatim piatu, dia mau tak mau bertahan lebih kuat. Stacia, kakaknya, mengorbankan banyak waktu untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan pendidikan Daniel hingga, paling tidak, bisa selesai Sekolah Menengah Atas. Daniel tidak pernah berniat kuliah sedari awal. Dia hanya ingin bekerja membantu Stacia, tapi gadis itu memiliki pikiran lain.

Jadi, sedari awal, Stacia mengusahakan banyak kesempatan beasiswa untuk sang adik. Daniel melewati banyak tes hingga rasanya dia sendiri telah lelah. Dari sekian banyak universitas, Decelis College adalah yang pertama menelepon. Mereka berkata ada satu slot yang tersisa untuk beasiswa penuh dari sebuah yayasan, khusus satu bangku di Decelis.

Atsuzawa Foundation.

Itu sebabnya, sejak kemarin, Daniel dipenuhi pikiran yang bahkan sama sekali tidak ia pahami. Kepalanya bercabang pada banyak penekanan juga asumsi yang aneh. Arai Atsuzawa, elusan pada rambut, suara baritone, dan parfum yang bahkan masih dirinya ingat—adalah penyebab utama. Daniel menggigit bagian dalam mulutnya. Dia benci pikiran tak beraturan yang membuatnya seperti berhalusinasi.

Maksudnya, kenapa tiba-tiba saja, dia dan Arai terlihat seperti pasangan?

Tuh. Daniel merasa dia sudah sangat gila.

"Bengong aja, nih, Den Daniel."

Bak dilempar kedalam kenyataan keras, Daniel menoleh cepat ke asal suara. Seorang lelaki yang dia kenal tertawa lebar, masih mengenakan jaket hitam dengan kerah seragam kepolisian yang mengintip dibaliknya. Daniel membalas dengan senyuman yang lebih lebar.

"Eh, Pak Kian. Ada yang bisa saya bantu lagi?"

Kian tertawa lebar. "Nggak ada, kok, Den. Saya cuma kebetulan ada urusan di sekitar sini. Mampir aja mau pesen minuman. Iced Americano, ya, Den."

"Boleh, Pak." Daniel membalas dengan senyuman yang lebih lebar.

Pemuda itu mencatat pesanan Kian. Sementara petugas itu sendiri berlalu untuk duduk di salah satu kursi. Daniel dengan cepat membuat pesanan. Tubuh langsing si pemuda bolak-balik di belakang mesin kopi.

"Ada yang perlu dibantu, Kak Dan?"

"Nggak ada, Ki." Daniel menyelesaikan satu gelas pesanan Kian. "Ini gue aja yang nganter."

"Okay!"

Daniel berlalu keluar dari konter staff. Kuasanya membawa nampan kecil ke meja yang tengah ditempati Kian. Petugas kepolisian itu tersenyum lebar, segera menerima gelas yang diberikan Daniel.

"Aduh, terhormat banget dibikinin sama Den Daniel."

Daniel terkekeh. "Apaan, sih, Pak. Jangan panggil saya Den lagi. Saya kan bukan Arai."

[SUNGJAKE] - Pangeran Gagak dan Tuan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang