BAGIAN I

1K 88 9
                                    

Adalah suatu hari di tahun dua ribu enam belas ketika banyak tangis pecah di bandara.

Keluarga menuntut, meraung, mengamuk akan takdir nyawa anak, suami, istri, ibu, ayah mereka yang terenggut begitu saja, seiring dengan jatuhnya sebuah pesawat.

Seorang wanita bertubuh semampai dengan pakaian resmi dan nametag berlambang sebuah airlines ada di antara mereka, turut menangis, sementara seorang gadis lain memegang tangannya, meraung hebat.

“Ayah dan Ibu saya ada di pesawat. Saya akan jadi yatim piatu, adik saya masih butuh mereka, Bu. Saya mohon lanjutkan pencarian, temukan mereka.”

Wanita semampai tadi mengangguk dengan wajah banjir airmata. “Ayah dan suami saya juga ada di pesawat itu, Mbak. Saya juga.. Sangat kehilangan…”

***

DECELIS COLLEGE berdiri di atas tanah seluas ratusan hektar. Mereka dikenal dengan gedung mewah, taraf internasional, serta penunjang UKM dan organisasi paling mumpuni di Ibukota. Seluruh kegiatan atau event yang diselenggarakan kerap kali menjadi magnet mahasiswa luar. Decelis bisa dikatakan standar tertinggi kampus ideal.

“Sponsor kita sampai mana, Lib? Ada update nggak?”

“Ada, Rai. Satu sponsor minta satu tenda besar untuk merek mereka,” Libra memberi print-out deck proposal dengan cover merek sebuah minuman bersoda. “Gue udah review, kayanya boleh juga dan nggak ada ruginya kasih mereka tenda. Deal kita sama mereka juga eksposur sosmed, sih.”

“Boleh. Fieverio gimana? Perlengkapan aman nggak untuk nambah satu tenda besar lagi?”

“Aman, kok.” Pemuda yang dipanggil menyahut sembari menggeser beberapa lembar kertas juga pada si penanya. “Malah masih cukup dua tenda lagi. Kalau ada sponsor yang mau nambah dalam waktu tiga hari ini, kasih aja. Lewat dari tiga hari, gue tawarin ke anak-anak UKM.”

“Oke. Tolong dicatat, Lib.”

“Siap, Rai.”

Dalam ruangan besar dengan meja panjang dan kursi-kursi yang mengelilingi, Arai Atsuzawa memimpin rapat. Ketua HIMA FISIP tersebut tengah disibukkan untuk persiapan DECELIS FISIP FAIR bersama seluruh ketua divisi yang sudah ditugaskan. Mereka semua sibuk memberi update pekerjaan mereka dengan media lembaran-lembaran kertas. Arai selalu meminta hardcopy dan softcopy di tiap perkembangan pekerjaan.  

“Oke,” Dia menghela nafas. “Susunan acara gimana? Revisi terakhir belum gue periksa.”

Tapi, hening menyambut. Kekosongan suara itu membuat satu alis Arai terangkat heran. Fokusnya yang tadi berada pada layar laptop dan kertas-kertas laporan segera teralihkan pada segala sudut ruangan. Begitu tau apa penyebab keheningan, pemuda tersebut berdecak keras.

“Daniel belum datang juga?”

Jadrienne, Wakil Ketua HIMA, menyahut, “tadi dia udah ngabarin gue, Rai. Katanya lagi di jalan.”

“Ya terus kita mau tunda rapat demi satu orang yang terlambat?”

Semua kembali menyambutnya dengan hening. Bahkan Jadrienne sekalipun mengatupkan kembali bibirnya rapat-rapat. Arai adalah pencinta kesempurnaan yang sulit menerima kesalahan. Apalagi kesalahan akibat keteledoran. Pria muda itu akan mudah terpancing emosi jika segala rencananya gagal.

“Gue udah print-out susunan acara dari Daniel tadi. Kebetulan email organisasi masih nyangkut di gue.” Kali ini Cyziana Oxley, si sekretaris, mencicit pelan sambil memberi satu map berkas. “Mungkin kita bisa lanjut rapat sambil nunggu Daniel kan, ya?”

[SUNGJAKE] - Pangeran Gagak dan Tuan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang