“Awwwww.” Daniel meringis pelan. “Anjir. Berat juga nih gembok.”
Daniel sedikit mengibaskan tangannya yang baru saja tertimpa tembaga gembok. Dia tengah berdiri tepat di depan rolling door sebuah kafe. Plang dengan lampu dalam yang sudah mati bertuliskan ‘Tamer Temple Cafe and Pattiserrie’. Ini merupakan shift terakhirnya, maka Daniel mempunyai tugas untuk mengunci.
“Kenapa, Kak Dan? Ketiban gembok, ya?”
Pemilik suara yang menghampiri Daniel itu adalah Nathanial Akio, rekan satu shift yang baru saja kembali dari restoran cepat saji di seberang jalan. Daniel mengangguk sambil mengaduh. Jemarinya masih memerah tapi dia mampu menyelesaikan kaitan kunci terakhir pada rolling door.
“Tadi iya, Ki. Nyeri sih, sedikit. Tapi nggak apa-apa.” Dia tersenyum berusaha melegakan. “Gue pikir lo udah pulang tadi.”
“Aduh, sampai rumah dikompres aja ya, Kak. Kemarin aku juga begitu, baru lumayan setelah dikompres, deh.” Pemuda dengan senyum secerah matahari itu kemudian melanjutkan, “iya, nih. Tadi aku denger Kak Stacia lagi pengen ayam pedas, kan? Nih aku beliin sekalian satu bucket biar bisa dimakan bareng sama Kak Dan.”
Daniel menatap si pemuda dengan terkejut. “Ki, nggak perlu repot-repot, ah. Gue baru mau beli habis gembok pintu, nih.”
“Yaudah, santai aja. Anggap aja hadiah juga buat Kak Dan. Kan baru jadi tim inti FISIP FAIR. Cie, dah.”
“Astaga.” Daniel mau tak mau menguntai tawa. Dia memang bangga akan pencapaian dirinya sendiri. Tapi di satu sisi kesal dengan Arai yang sembarangan mengatainya kemarin. “Makasih banyak, ya, Ki. Besok gue traktir makan siang, deh.”
“Iya terserah Kakak. Eh, aku udah dateng nih ojeknya, Kak. Kakak naik apa hari ini?”
“Naik Bus aja, deh. Lagi pengen agak rebahan sedikit. Kalau naik ojek nanti kebablasan tidur bisa bahaya.”
“Oke.” Akio mengangguk-ngangguk paham. “Aku duluan kalau gitu, ya, Kak!”
Keduanya masih saling melambai hingga akhirnya Akio naik ke motor ojek yang ia pesan dan melaju menjauhi jalan. Daniel mengantongi kunci yang tadi dia gunakan. Tamer Cafe and Patteserie hanya memiliki dirinya dan Akio sebagai pekerja sampingan. Pemiliknya adalah tante dari Akio, seorang wanita tua yang menikmati pensiunnya dengan baik. Daniel terhitung sudah satu tahun bekerja disana. Gajinya dia pakai untuk keperluan kampus dan membantu Eustacia, kakak satu-satunya yang sibuk bekerja untuk hidup mereka berdua.
Malam itu sebenarnya belum terlalu larut. Tapi karena kafe berada di daerah perkantoran yang berbatasan dengan hotel, tidak banyak lalu-lalang di sekitar sana. Daniel menikmati sepoi angin yang sangat menguji kesendirian. Tidak ada rasa takut karena baginya sudah sangat biasa. Halte yang ada juga hanya berjarak kurang dari satu kilometer.
Tapi, agaknya, benang merah takdir tidak menyukainya terlalu lama dalam kedamaian. Belum juga halte berhasil langkahnya capai, seorang gadis dengan gaun merah muda sekonyong-konyong berlari untuk bersembunyi di balik tubuhnya. Daniel kebingungan setengah mati. Apalagi tak lama setelah itu, seorang pria tinggi menghampiri mereka dengan nafas tersengal-sengal.
“Siapa lo?”
Daniel, yang kebingungan, menunjuk dirinya sendiri. “Gue?”
“Gak usah sok bego.” Pemuda itu membalas dengan sarkastik. Matanya memandang ke balik punggung Daniel. “Udahlah, mending ikut gue aja. Cowok kecil begini apa enaknya, sih.”
“Eh, bentar. Maksud lo apaan, nih?”
Dengan agak emosi, Daniel membalas perkataan si pria tinggi dengan nada yang tak kalah tajam. Genggaman si gadis yang berada di belakangnya makin erat. Entah didasari intuisi apa, Daniel otomatis melebarkan tangannya untuk melindungi. Pria tinggi tadi terbahak-bahak.
“Nggak usah ikut campur. Minggir.”
Daniel meneguk ludahnya. Ia sedikit menoleh ke samping agar gadis tersebut mendengar suaranya. “Lo kenal dia, nggak?”
Dari balik punggungnya, Daniel merasakan sebuah gelengan keras. Astaga, dia mulai bisa menyambungkan titik-titik dugaan yang mungkin terjadi pada dua orang itu. Pemuda itu kemudian berbalik menatap pria yang di hadapannya, sedikit menantang.
“Dia bilang dia nggak kenal lo, tuh.”
“Gampang kalau kenalan mah. Sekarang mendingan lo minggir dulu.”
Daniel hampir menahan nafas untuk memantapkan hatinya. “Lawan gue dulu.”
“Bener-bener anjing, ya, lo.”
Bak adegan dramatis dari sinema yang sering Eustacia tonton, pria tinggi itu melayangkan pukulan yang hampir mengenai wajah Daniel. Dengan sigap yang ia anggap sangat mumpuni, Daniel berhasil merunduk dan melempar gadis itu ke sisi jalan, agar menjauhi arena pertengkaran. Gadis itu sedikit berteriak, namun Daniel rasa tak ada masalah.
“Segitu doang?”
Oke, Daniel hanya punya kemampuan Taekwondo sampai level sabuk hijau strip garis kuning. Dia mungkin bisa menendang dengan baik, tapi sangat mudah lelah dan sendinya seperti orang tua; sangat jompo. Otaknya kini menggali memori terkait gerakan pembelaan diri. Pokoknya apapun yang bisa membuat pria itu tidak mengalihkan atensi pada si gadis.
“Setan kecil!”
Daniel kembali menghindar. Kali ini berhasil kembali dan dia berhasil melayangkan satu pukulan ke perut lawannya. Cukup membuat pria yang lebih tinggi darinya terhuyung ke belakang. Dari sana Daniel segera tahu pria itu setengah mabuk. Bau alkohol keluar ketika mulutnya mengaduh sakit. Daniel kini punya dua kemungkinan; pria ini bisa saja sangat lemah, atau sangat kuat karena teledor.
Kini selain penuh dengan keinginan membela diri, kepala Daniel juga dihinggapi kekesalan. Pria setengah mabuk ini mengejar seorang gadis. Daniel segera tahu jika niatnya sangat tidak baik. Dia juga punya saudara perempuan. Baginya tidak ada ampun untuk pelecehan bagaimanapun bentuknya. Disertai pemikiran itu, Daniel konstan memberi pukulan demi pukulan pada perut dan lengan si pria.
Tapi, dia lupa tangannya masih didera nyeri akibat tertimpa gembok tadi. Ketika pukulannya mengenai sikut pria tersebut, Daniel mengaduh. Kesempatan kecil itu diambil dengan baik oleh sang lawan dengan memukul pipi kiri pemuda Everette. Kini gantian Daniel yang terhuyung jatuh. Tangannya tertekuk ketika menyentuh tanah dan dia kembali mengaduh.
“Makanya, dek,” Pria tadi menyeringai jelek. “Jangan ikut campur urusan orang.”
Matilah dia.
Daniel sengaja melindungi bagian kepalanya dengan kedua tangan. Dia memejamkan mata untuk mengantisipasi serangan balik. Rungunya menangkap bunyi pukulan dan suara erangan. Tapi tidak ada satupun tinju yang hinggap pada kepalanya. Daniel mengerutkan dahinya bingung. Dia tambah kaget ketika pria yang menjadi lawannya tadi sudah tersungkur tak berdaya.
“Kak!” Gadis bergaun merah muda tadi menghampiri Daniel. “Kakak nggak apa-apa, kan?”
Kini, mata Daniel terbuka sepenuhnya. Dia terduduk pelan kebingungan. Beberapa pria besar dengan pakaian safari hitam membawa pria setengah mabuk tadi untuk berdiri. Wajahnya sudah bonyok. Mata Daniel kembali memandang gadis tadi.
“Lo nggak apa-apa?”
Gadis tadi tersenyum. “Nggak apa-apa, Kak. Makasih ya udah nolongin aku. Tadi waktu lari kearah sini sebenarnya aku udah share lokasi sama Kakakku. Untung aja mereka gerak cepat. Tapi sedikit terlambat juga karena Kakak keburu kena pukul.”
Daniel mencoba menelaah setiap kalimat si gadis. “Kakak?”
“Ayumi.”
Suara berat itu membuat jantung Daniel terpacu cepat. Dia menoleh, lalu mendapati gadis tadi berlari ke seorang pemuda yang langsung membawanya dalam pelukan singkat. Pemuda itu memeriksa setiap keadaan gadis tersebut. Kepala Daniel tiba-tiba menjadi pusing melihatnya. Dia kenal pemuda itu.
Arai?!
.
.
.
.
.To be continue..
.
.
.
.
.POJOK AUTHOR.
Slide to the next step~
KAMU SEDANG MEMBACA
[SUNGJAKE] - Pangeran Gagak dan Tuan Kopi
FanfictionDua orang dengan preferensi berbeda tiba-tiba saja menjadi satu dalam tujuan. Pangeran Gagak gemar kesempurnaan, tapi di setiap benang merah kehidupan, kenapa Tuan Kopi selalu ada?