: Namanya kopi, dimana setiap teguknya melahirkan diksi. Disusun rapi, hingga menyajikan kalimat paling gengsi bernama puisi.
🦋🥀
Ini tentang kopi, tentang ambisi yang hanya ilusi. Juga tentang emosi yang ku benamkan dalam rentetan bait puisi. Ia menjelma diksi paling ironi, menggambarkan segala elegi diri.
Aku hanya seorang pengecut, menyeruput setiap hal yang sedang kalut. Payah memang, berlarut pada apa yang katanya kusut.
Lagi-lagi hanya terduduk, menunduk dengan emosi berkecamuk. Kopi digenggaman siap diteguk, air mata pun siap jatuh dari pelupuk.
Jatuhnya atas perandaian, mengenai banyak hal yang ingin digapai. Sayang seringnya lupa, kalau setiap yang ku rangkai akan selalu kembali terburai.
Padahal Tuhan sudah seringkali menegur, tapi masih saja nekat nyebur. Dan lagi-lagi harus terjebak, pada alur yang setiap paragrafnya bikin babak belur.
Katanya sekedar menepi untuk membumi. Tapi ini parah, terlalu betah hingga enggan melangkah. Setiap hari hanya diam dalam lamunan, dan tenggelam dalam serpihan angan.
Bila menenggak kopi adalah sebuah usaha meredamkan argumentasi dalam diri. Maka aku hanyalah seorang pengoleksi diksi, memaknai setiap caci lalu mengutuknya ke dalam puisi.
~
Jangan JIPLAK kalau nggak mau di KEPLAK.😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenguk yang Terpuruk
PoesiaSebuah usaha agar tinta tidak lagi tentang darah. Perkata hanyalah mengenai luka yang semakin menganga. Apa yang tertulis adalah kalimat yang masih berkelana, mencari pertolongan juga rangkulan.