16. Elora Marah

2.1K 64 1
                                    

Brukk!

David tersungkur tepat disamping kursi yang diduduki oleh Reinder. Reinder yang tadinya sedang fokus membaca buku jadi teralihkan fokusnya.

Mata Reinder yang beradu dengan manik hitam milik David segera diberi kode oleh cowok itu. Menurut, Reinder pun menolehkan kepalanya ke depan. Dan sosok Rania dengan sorot mata tak bersahabat menjadi pemandangan pertama.

Rania menyorot Reinder tajam. Gadis itu melangkah hingga berdiri tepat didepan Reinder yang masih dalam posisi duduk.

"Lo ternyata sama aja kaya cowok kebanyakan. Licik. Brengsek. Bajingan." desis Rania dengan rahang mengetat saking emosinya. Reinder yang tidak tahu apa-apa jelas kebingungan. Kulit diantara alisnya mengerut dalam.

"Maksud Lo apa tiba-tiba ngatain gue gini? Lagi dapet lu?"

PLAK!

Bunyi tamparan keras itu terang saja membuat situasi disana semakin tegang. Semua pasang mata kini melihat ke arah Reinder dan Rania. David yang sudah bangkit dari keramik sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika Rania menampar Reinder.

Reinder semakin tidak paham apa yang membuat Rania sebegini marah padanya. Cowok itu menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Reinder beranjak dari duduknya.

"Kita ngomong di luar." Rania menepis tangan Reinder yang hendak membawanya.

"Gak usah pegang-pegang gue." ujarnya mengusap-usap bekas dipegang Reinder tadi seakan sentuhan cowok itu adalah kotoran.

"Gue perlu ngobrol sama Lo. Dan disini bukan tempat yang tepat." Reinder memindai sekitar sekilas. Di sekeliling mereka semakin ramai dengan dirinya menjadi pusat perhatian. "Ikut gue." kali ini Reinder menarik lagi gadis itu dengan sedikit mengeluarkan tenaganya. Rania sekuat tenaga melepaskan cengkeraman Reinder itu. Tapi kekuatannya kalah jauh dengan Reinder.

"Lepasin! Lo jangan kurang ajar ya sama gue. Gue bisa laporin Lo kalo Lo gak lepasin tangan gue sekarang juga." ancamnya masih berusaha melepaskan tangan Reinder.

Reinder menghempaskan tangannya ketika mereka sudah berada di bagian koridor yang cukup sepi dekat ruang janitor.

"Bisa jelasin maksud Lo marah-marah tadi?" Rania membalas tatapan cowok itu dingin.

"Punya otak kan? Pikirlah." Rania hendak pergi yang tentu saja tidak dibiarkan begitu saja oleh Reinder.

"Gue memang punya otak, tapi gua gak punya mata lain yang bisa baca pikirin orang. Jadi bisa kasih tau gue aja apa masalah Lo sama gue? Punya mulut kan?" balas Reinder. Beberapa saat Rania dan Reinder saling bertukar pandang penuh konflik.

Rania bersedekap dan mengangkat sebelah alisnya yang digambar dengan pensil alis itu.

"Gimana malam pertamanya, enak? Seneng kan Lo, hm?" ujar Rania bukannya membuka tabir kebingungan yang menerpa Reinder, ini justru membikin cowok itu makin gaduh dengan otaknya yang mencerna mencari-cari tahu maksud sindiran gadis itu.

"Gue males sindir-sindiran kaya gini. Bisa to the point aja gak? Lo lagi kesel kan sama gue? Lo marahkan?"

"Ya. Jangan lupa juga. Gue benci sama Lo." angguk Rania bahkan menambahkan kata benci.

"Okey. Lo juga benci sama gue. Tapi bisa jelasin ke gue soal ucapan Lo yang ngatain gue Bajingan dan brengsek?"

"Masih penting buat Lo? Emang bener kan? Mau disebut apa lagi cowok yang ngasih harapan sama satu cewek, bahkan sampe udah tidur bareng, tapi ujung-ujungnya nikah sama cewek lain. Hebat."

Prok prok prok.

"Hebat banget." Rania menepuk tangan berulang kali dengan ekspresi muka sarat kesinisan. "Cowok emang gitu sih. Disaat udah ngerasain madu tipe A, kalo udah bosen bakal nyari madu tipe B. Gitu aja terus sampe kiamat. Cowok-cowok bajingan yang licik, penuh tipu muslihat. Kelihatannya aja baik, tapi aslinya busuk."

Enervate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang