06. Perbedaan

2.1K 72 2
                                    

Elora pergi berganti baju di kamar mandi perempuan yang sepi. Meletakkan kedua tangan pada sisi wastafel, pantulan dirinya di cermin masih menggambarkan kekesalan akibat ulah Ari.

Apa-apaan cowok itu? Berani-beraninya dia mencium Elora begitu saja.

Mengingat itu membuat Elora segera menyalakan keran air dan mencuci bibirnya kasar. Ia ingin menghilangkan jejak dari bibir cowok brengsek itu.

"Arghh! Kenapa harus Ari sih? Kenapa gak Rei aja yang nyium gue? Tck." decak Elora menggerutu sebal.

Setelahnya gadis itu berbalik masuk ke dalam salah satu bilik toilet untuk berganti pakaian. 5 menit kemudian Elora keluar dari dalam dengan dogi yang sudah tak lagi melekat ditubuhnya. Kini gadis itu sudah berganti dengan sweater hitam crop dengan jeans warna senada pula. Rambut kecoklatannya yang bergelombang indah hasil dari rutin ke salon itu ia rapihkan didepan cermin. Tidak lupa Elora memoles liptin ke bibirnya yang ranum itu.

"Perfect. Pokoknya gue harus selalu kelihatan cantik di depan Rei." ujarnya menyemangati dirinya. Namun lengkungan indah dibibirnya langsung surut sesaat lagi-lagi teringat soal nasib bibirnya yang sudah ternodai.

Elora menyentuh bibirnya sendiri.

"Gak papa ya sayang, anggap tadi itu gak pernah terjadi. Gue janji, lain kali cuma Reinder seorang yang bisa nyentuh Lo. Kalo sama dia mah, terserah deh mau diapain juga. Bahkan kalo dia minta buat... Ekhem." sadar ini di tempat umum, meskipun tidak ada siapa-siapa Elora menghentikan ucapannya barusan yang mulai mengarah ke yang plus-plus.

Sadar tempat Elora. Batinya memperingati gadis itu.

Lantas saja ia mencangklek Tote bag coklat miliknya ke sebelah pundak lalu melenggang pergi dari water closet.

•••

Di lain sisi, Reinder yang tampak keluar dari area kampus hendak pergi ke arah parkiran. Cowok itu udah bersiap untuk pulang.

"Anin." panggilnya pada sosok wanita yang hari ini mengenakan pashmina moka tersebut. Reinder merajut langkah mendekat. "Baru pulang juga?" tanya Reinder yang diangguki oleh Anin.

"Iya Rei. Aku solat magrib dulu tadi abis latihan saman. Kamu ikut Ekskul juga?" Reinder mengangguk. "Ekskul apa?"

"Karate." Anin membeliakkan matanya.

"Waw. Jago berantem dong?"

"Bela diri." ucap Reinder meralat. Anin tersenyum malu dibuatnya.

"Eh, iya. Maksud aku itu. Maaf." Reinder mengangguk pelan.

"Lagi nunggu driver lagi?"

"Iya. Ini baru mau pesen."

"Bareng gue aja." tawar Reinder. Anin jelas tidak enak dibuatnya.

"Uhm, gak usah deh Rei. Kali ini driver nya cepet kok. Gak mau ngerepotin kamu juga. Gak enak akunya."

"Ck. Gak enak mulu. Udah gak papa. Lagi pula Lo ikut atau engga, bensin mobil gue berkurangnya tetap sama. Lebih baik bawa orang kan? Biar gue dapet pahala." Reinder mencoba membujuk gadis itu. Cowok itu membuka pintu mobil dan menatap Anin. "Masuk." Titahnya yang mau tak mau dituruti Anin. Sebetulnya ia segan terus-terusan ikut dengan laki-laki itu. Ia takut merepotkan. Tapi karena sudah sampai dibukakan pintu, Anin tak kuasa untuk menolak. Ia takut menyinggung Reinder.

Sesaat gadis itu sudah duduk di dalam mobil, Reinder menutup pintu dan cowok itu memutari kap mobilnya untuk kemudian ikut masuk juga dibalik kemudi. Menyalakan mesin mobil, Reinder pun melajukan BMW hitamnya bergabung dengan kendaraan lain di jalanan yang ramai.

Enervate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang