"Maaf tuan muda, Tuan melarang siapapun masuk." Ucap salah satu penjaga yang menjaga di depan pintu kamar Argon.
Alis William mengerut tak suka. Memangnya siapa dua penjaga itu yang bisa melarangnya bertemu sang Papa. Ini karena ada hal penting yang ingin ia katakan pada Papa nya secara langsung.
"Minggir!"
"Maaf tuan muda, saya tak akan membiarkan anda masuk."
"Gue bilang minggir!!" Liam berteriak membentak dua penjaga itu, yang membuat dua penjaga itu bergetar takut. Dengan tak sadar kedua penjaga itu minggir, memberi jalan pada William. Saat William hendak membuka pintu, pintu itu sudah terbuka, dan Papa nya yang membukanya.
"Ada apa ribut-ribut?" Tanya Argon. Kamarnya memang kedap, namun tadi Argon hanya mengaktifkan mode kedap dalam saja, jadi ia mendengar suara gaduh dari luar.
"Papa. Liam mau bicara"
Argon mengangkat salah satu alisnya. Namun sedetik kemudian ia mengangkat kedua alisnya terkejut karena William yang main nyelonong masuk.
"Liam, dimana sopan santunmu?" Ucap Argon dengan nada dingin. Putra ketiganya ini memang dingin, tapi jika dengannya suka seenaknya sendiri.
"Papa dia siapa?" Tanya William seraya menunjuk buntalan selimut yang hanya terlihat helaian rambut saja, ia tak menghiraukan ucapan Papanya.
Argon menghela nafas, dia memperbaiki selimut yang menutupi wajah Eza, takut anak itu kesusahan nafas. Selimut itu ia sibak sampai dada Eza, membuat wajah Eza yang terlihat imut saat tidur terlihat. William menahan nafasnya, takut kelepasan berteriak. Bukan karena kaget, namun karena wajah bocah itu yang nampak tak manusiawi.
William mendekat, tangannya bergerak mengunyel unyel pipi Eza yang kenyal dan lembut. Argon diam saja membiarkan, delagi Eza tak terganggu. Namun dugaannya salah, kening bocah itu mengerut dengan bibir mengerucut, namun bocah itu masih menutup mata. Eza menyingkirkan tangan yang menganggu tidurnya, lalu membalikkan tubuhnya menyamping. William terkekeh, seoertinya dia senang mempunyai mainan baru.
"Pa, dia sangat lucu." Ucap William, tangannya masih saja aktif menoel-nael pipi gembul Eza.
Argon tersenyum tipis, putra ketiga nya itu memang sedikit berbeda dengan kedua abangnya. William lebih terbuka padanya, tidak seperti kedua putranya yang lain yang selalu gengsi padanya.
"Dia adik barumu."
William menoleh cepat ke Papa nya. "Dia, adik aku?"
Argon mengangguk. William memang tak akan berani memanggil dirinya gue jika berbicara pada Papa nya itu.
Wiiliam tersenyum lebar, membuat Argon tersenyum tipis, sudah lama ia tak melihat senyum lebar dari putra ketiga nya itu. Tapi masih mending William yang masih bisa tersenyum lebar, dibandingkan dengan dua putra nya yang lain, mereka selalu menunjukkan muka datar mau ditampol mereka. Bahkan Argon heran, kenapa putranya itu selalu bersikap dingin dan datar?
"Eungh..jangan ganggu, ihh.." gumam Eza dengan bibir mengerucut tanpa membuka matanya.
William semakin senang menganggu bocah itu, dia suka saat Eza menunjukkan wajah kesal, menurutnya itu sangat menggemaskan.
"Aaaa...sakit, hiks.." Eza tiba tiba berteriak dan menangis saat merasakan pipinya di cubit. Boca itu langsung membuka matanya dengan mata berkaca kaca.
"Papa, hiks..sakit." Rengek Eza pada Argon. Dia tak memperdulikan tatapan melongo dari William.
Argon dengan cepat menyambit uluran tangan Eza dan menggendongnya ala koala. Argon melihat pipi putih Eza yang memerah. Dan siapa lagi pelakunya jika bukan William yang kini menatap melongo kearahnya.
"Liam, apa yang kau lakukan. Kau menyakitinya." Ucap Argon.
William tersadar, ia juga melihat rona merah di pipi kiri Eza. Ia jadi merasa bersalah, karena dia terlau gemas dengan Eza, ia jadi kelepasan mencubit pipi bocah itu.
Tapi yang membuat dia tadi terpaku adalah, saat bocah itu membuka matanya, nampak semakin menggemaskan. Rasanya darah William mendesir saat itu juga.
"Maaf Papa."
"Minta maaf padanya."
William mengambil alih Eza yang digendong Papa nya. Bocah itu langsung memberontak dan berteriak.
"Gak mau, gak mau hiks...mau sama Papa." Pekik Eza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eza
FantasyEja, pemuda yang mengidap penyakit leukimia yang sudah di medium akhir. Akhirnya pemuda itu menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang masih belum genap 17 tahun. Tak ada keluarga atau siapapun yang menemaninya. Bahkan tak ada yang menangisinya sa...