Setelah keributan semalam. Argon mengurung Jayden di kamarnya. Pria paruhbaya itu belum tahu jika Matthew telah kembali, karena setelah ia memukul Jayden, Matthew mengembalikan kesadaran Jayden, dan membuat lelaki itu bingung dengan kondisinya saat itu.
Eza sendiri kondisinya cukup memprihatinkan. Anak itu mengalami trauma. Sejak semalam anak itu terus diam saat Argon mengajaknya bicara. Dan hal itu tentu membuat Argon dan William bingung harus bagaimana agar Eza kembali mau bicara.
Disisi lain, Jayden tengah bertengkar dengan bayangannya sendiri di cermin. Lelaki itu menatap tajam bayangannya yang sedari tadi tak henti hentinya tertawa.
"Gue gak akan berhenti buat lo marah. Karena hal itu, gue bisa nguasai tubuh lo."
"Berhenti ngusik gue, sialan!!"
Bayangan Matthew di cermin menyeringai. "Lo tau? Sekali lagi gue berhasil nguasai lo. Lo gak akan bisa balik lagi. Jadi, harap hati hati." Ucap Matt kemudian tertawa. Lambat laun bayangan tertawa itu menghilang dan berganti dengan bayangan Jayden asli.
"Sialan!!" Umpat Jayden.
Jayden beralih ke foto adiknya----Jansen, anak yang telah ia bunuh dengan tangannya sendiri. Sebenarnya bukan Jayden tapi Matthew.
"Maaf, andai dulu gue bisa ngendaliin emosi gue dan membuat Matt muncul. Pasti adek masih hidup."
________
"Papa, bagaimana bisa Kak Jay hampir membunuh Eza?" Tanya William. Ia baru saja datang dan terkejut setelah Ferrel memberitahunya jika Eza hampir dibunuh.
Argon memijat dahinya, "Papa juga tak tahu apa alasan Jayden. Tapi, entah kenapa, Papa curiga satu hal."
"...jika Matthew sudah kembali."
William tanpa sadar memundurkan langkahnya karena terkejut. Tentu ia tau siapa itu Matthew. Bahkan dulu ia pernah jadi sasaran kegilaan Matthew sejak ia berumur 7 tahun.
Matthew itu psikopat. Namun sayangnya Matthew itu juga adalah kakaknya, karena Matthew adalah alterego kakak keduanya, yaitu Jayden. Ia tak mau menyakiti kakaknya, yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti Matthew. Menuruti semua keprotektifan-Nya.
Matthew itu keras. Jika dibantah sedikit saja pasti orang itu langsung mengamuk.
William takut, jika Matt muncul lagi dan akan melakukan hal lebih pada Eza. Bagaimanapun, William sudah sangat menyayangi Eza.
"Lalu gimana kondisi Eza?"
Argon menghela nafas, "sejak semalam dia tak mau bicara."
Tanpa banyak tanya lagi, William berjalan menuju lift untuk ke kamar Eza. Mungkin ia bisa menenangkan adiknya dan membuatnya kembali mau bicara.
Sesampainya di kamar Eza, benar saja. Anak itu hanya terdiam menatap kosong kedepan. William merasa dadanya sakit melihat kondisi Eza.
Lelaki itu beranjak dan duduk pinggiran ranjang. "Eza.."
Namun tak ada jawaban apapun dari Eza. Anak itu bahkan tak mengalihkan pandangannya.
William menatap sendu Eza, lalu ia memutar tubuh Eza menghadapnya. Dapat ia lihat, Eza tetap tak bergeming.
William memeluk tubuh ringkih itu, "please, dek, jangan gini."
Eza yang dapat pelukan tiba-tiba tersentak. Ia menangis tersedu-sedu dan semakin mengeratkan pelukannya.
William mengelus surai lembut adiknya. Bermaksud menenangkan.
"Eza takut."
"Jangan takut, ya abang disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eza
FantasyEja, pemuda yang mengidap penyakit leukimia yang sudah di medium akhir. Akhirnya pemuda itu menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang masih belum genap 17 tahun. Tak ada keluarga atau siapapun yang menemaninya. Bahkan tak ada yang menangisinya sa...