Zen

6.5K 712 4
                                    

William dengan cepat mengelus punggung sempit Eza, berharap anak itu tenang. Dan benar saja, perlahan anak itu meredakan tangisnya, gerakannya pun memelan. Eza menyembunyikan wajah sembabnya di ceruk leher William, dia nyaman dengan aroma maskulin William.

"Maafin abang ya?" Ucap William tiba tiba.

Eza menegakkan kepalanya, menoleh kesamping tepat di depan wajah rupawan William, karena Liam juga menoleh padanya.

Rasanya ingin sekali Liam menggigit pipi tembam itu, menghabiskannya sendirian. Apalagi hidung kecil mancung bocah itu memerah karena habis nangis. Tapi jika ia melakukan itu, dia yakin Papanya akan menghabisinya detik ini juga. Tapi Liam mana tega melakukan hal itu, ia masih normal kali bukan kanibal.

"Abang?" Gumam Eza dengan suara lucunya.

William tersenyum tipis seraya mengangguk pelan. "Nama abang, William."

"Abang Liam!" Seru Eza. "Eza punya abang, yeeyy..." lanjutnya senang.

"Baby udah maafin abang kan?" Tanya William.

Eza mengerucutkan bibirnya, "jangan panggil Babi dong. Eza kan manusia."

"Baby sayang, bukan babi."

"Sama aja!" Eza menggembungkan pipinya, bibirnya mengerut kesal.

William yang tak tahan dengan human menggemaskan itu mencium pipi bocah itu berkali-kali. "Adek siapa sih, imut banget"

"Liam, kau mau kemana?"

Argon berteriak saat putra ketiganya itu keluar kamar dengan membawa Eza.

"Pinjam bentar, Pa!" Jawab William santai.

Argon menggeleng, namun tak urung bibirnya menyunggingnya senyum tipis.

o0o

"Abang, kita mau kemana?"

"Adek lapar kan?"

Eza mengangguk, memang sejak tadi perutnya sudah lapar. Karena dia tertidur jadi tak sempat makan.

"Abang, Eza mau turun ihh.."

William menurunkan Eza, begitu anak itu terus menggeliatkan tubuhnya kayak cacing kepanasan.

William mendudukkan Eza di salah satu kursi makan, namun ternyata Eza tenggelam dari balik meja. Eza mengerucutkan bibirnya, sedangkan William menahan tawanya.

William memerintahkan salah satu penjaga mengambil bantal kursi, agar anak itu bisa sejajar dengan tingginya meja. Tubuh anak itu terlalu mungil hingga saat duduk, bahkan kepalanya saja tak sampai pada meja.

"Abang, ihh...jangan ketawa" kesal Eza.

"Dasar pendek." Ejek Liam.

Mata Eza berkaca kaca, kata itu sangat sensitif baginya. Liam body shaming padanya, padahalka Eza sedang masa pertumbuhan.

"Hiks"

William membulatkan matanya mendengar isakan sang adik.

"He-hei abang hanya bercanda."

"Abang jahat, hiks.. Eza gak lek." Eza turun dari kursi makan, bocah itu berlari tak tentu arah. Tentu saja Liam panik, anak itu pasti belum hafal denah rumah besar ini. Takutnya anak itu hilang.

o0o

Eza berlari sampai di sebuah ruangan yang ia yakini sebagai dapur. Para lelaki maupun wanita yang memakai celemek dan topi ala chef terlihat bersliweran tanpa meperdulikan makhluk menggemaskan yang sayangnya nampak goib disini. Para chef itu nampak sibuk mempersiapkan makanan.

Tiba tiba Eza mencium aroma coklat yang membuatnya ngiler. Bocah itu berjalan mengikuti aroma itu. Sampai ia menemukan sebuah nampan berisi cookies coklat berbentuk beruang yang nampak lucu.

Eza menelan ludahnya. Ia menjinjit berusaha menggapai nampan itu. Namun nampan itu malah tersenggol tangan Eza dengan kencang karena Eza yang oleng. Eza jatuh beserta nampan itu.

Klontang..!!

Untung saja nampan besar itu tak menimpa tubuh Eza. Cookies itu pecah-pecah, namun Eza tak memperdulikan. Eza mengambil yang masih ada di nampan, memakannya dengan hati bahagia. Tanpa menyadari sebuah tatapan tajam menghunus padanya.

Seorang wanita dengan celemek merah dan juga topi chef yang juga berwarna merah berkacak pinggang menatap bocah yang duduk hikmat menikmati cookies.

Eza terkejut saat tangannya di tarik paksa oleh seseorang. Dia mengerjap, menatap seorang wanita yang menatap tajam dirinya.

"Heh!bocah pencuri!! Berani sekali kamu makan cookies itu hah?! Muntahkan! cepat muntahkan!!" Bentak wanita itu seraya mencengkram rahang Eza.

Kening Eza mengerut, meringis pelan merasa sakit di rahangnya karena wanita itu mencengkramnya dengan kuat.

"Le-pas"

"Muntahkan!!" Wanita itu membentak, semakin kuat mencengkram rahang Eza.

"Le--pas sa--kit" setitik air mata jatuh membasahi pipinya yang kini memerah.

"Elin! Apa yang kau lakukan!!" Teriak seorang Pria yang juga memakai pakaian yang sama dengan wanita itu.

Pria itu melepas paksa tangan Wanita yang bernama Elin. Eza segera berlari mendekat pada Pria yang telah menolongnya.

"Hei, nak kau tak apa?" Tanyanya dengan nada lembut.

"Sakit." Gumam Eza. Pria itu mengelus pelan rahang Eza.

"Elin!! Kenapa kau menyakitinya?"

"Dia sudah mencuri, Zen!!"

Pria bernama Zen itu melihat Cookies yang sudah berserakan di lantai. "Itu hanya senampan Elin! Kita bisa membuatnya kembali! Kenapa kamu malah menyakitinya?"

Elin mendengus, membuang muka tak mau menatap Zen yang nampak kecewa padanya.

"Dimana ayahmu?" Tanya Zen.

"Papa? Papa sedang dikamarnya paman."

"Cih! Bahkan ayahnya saja pemalas" cibir Elin yang menganggap Eza adalah anak dari pembantu disini.

"Siapa nama ayahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu?"

"Nama Papa_" Eza terdiam, dia kan tak tahu nama Papa nya itu. Eza menepuk dahinya merasa payah. Kenapa dia tak menanyakannya?

"Eza lupa nama Papa, tapi Eza punya abang Liam."

"Liam?" Zen terdiam, ia nampak tak asing dengan nama itu. Zen bekerja di bagian dapur dan jarang ke mansion utama, karena hanya para maid yang mengatarkan makanan ke Mansion utama.

Zen meneliti penampilan Eza, dia tak bodoh untuk mengetahui pakaian yang dipakai Eza itu bermerk.

"Kamu dari Mansion utama?!" Zen bertanya dengan nada terkejut.

Eza memiringkan kepalanya tak mengerti.

"Tuan, sebaiknya anda mengangguk saja dan katakan jika anda adalah putra dari Argon George Kyle."

Tiba tiba suara Qi terdengar, Eza mengangguk, "Eza inget, nama Papa Eza itu Argon George Kyle." Ucap Eza yang membuat Elin seketika pucat pasi.

Zen melirik Elin. "Kau akan tanggung akubatnya Elin. Kau berani menyakiti putra majikanmu sendiri." Zen menunjukkan senyum miringnya. Biarlah wanita itu dihukum, kalau bisa sekalian aja dibunuh.

Elin disini terkenal akan kesombongannya, karena dia adalah senior disini. Jadi dia sering sok sok an nyuruh nyuruh para chef baru disini, termasuk Zen sendiri.

"Mari tuan muda, saya akan mengantar anda kembali." Ucap Zen yang tiba tiba berbicara dengan formal.

Eza mengangguk saja, dia sekarang mengantuk dan ingin tidur.

"Paman, bisa gendong Eza?"

Eza Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang