Hijau Jade : Rumah Sang Botanis

7 3 0
                                    

Berhasil dalam mengolah pangkal garam semalam, Yusha mengetahui bahwa keberhasilannya itu tak luput dari perhatian tajam ibunya, Alena. Namun, kebahagiaannya pupus saat melihat ekspresi marah yang merebak di wajah sang ibu.

"Yusha ini maksudnya apa!" tegur Alena sambil menyerahkan keranjang rotan yang dihiasi dengan beberapa jenis tanaman.

Yusha menelan ludah. "Itu..." ucapnya pelan, merasakan getaran kekhawatiran merayap di dadanya. "Aku hanya penasaran, ibu. Jadi aku mengambilnya," lanjutnya, mencoba menjelaskan diri.

"Menggunakan tanganmu?!" potong Alena dengan tegas, namun seketika itu pula dia tersadar akan kecerobohannya. "Aku lupa, jika kamu menyentuhnya dengan tangan, kamu pasti berakhir menjadi santapan para monster di sana," tambahnya seraya menggelengkan kepala.

"Mati?!" Yusha terkesiap, ekspresi wajahnya mencerminkan kejijikan saat membayangkan dirinya dijadikan santapan.

"Gerald! Besok bawa dia ke sana! Ajarkan dia tentang tanaman dan tumbuhan!" perintah Alena dengan tegas kepada suaminya.

"Baiklah, sayang," jawab Gerald sambil sesekali melemparkan pandangan mata tajam kepada Yusha. "Kamu akan diajak untuk mengenal tanaman monster besok," godanya disertai tawa kecil.

"Tidak! Aku tidak mau!" Yusha memrotes, suaranya penuh dengan keputusasaan.

"Tidurlah sekarang! Dan besok pagi, pastikan kamu sudah siap ketika ayahmu datang menjemputmu!" tegas Alena sebelum meninggalkan Yusha dalam kegelapan kamar.

Esok harinya, masih terasa hangat dari peristiwa malam sebelumnya yang menyulut pipinya, Yusha berjalan bersama ayahnya, Gerald, di tengah rimbunan pepohonan menuju sebuah rumah yang tampaknya menyatu dengan alam di sekitarnya. Dinding rumah itu dilapisi oleh lumut hijau yang menjalar dengan anggun, menyatu dalam keremangan pagi yang masih diselimuti oleh kabut tipis.

Gerald menatap Yusha dengan penuh makna saat mereka mendekati rumah itu. "Itu dia," ucapnya dengan suara rendah, seolah memberikan sinyal yang tidak terucapkan kepada putranya. Yusha diam, matanya terfokus mengamati setiap inci bangunan yang berdiri di hadapannya. "Rumahnya terlihat seperti rumah yang telah terlupakan, pasti penuh dengan serangga," gumam Yusha, mengernyitkan dahinya dengan jelas menunjukkan ketidaknyamanannya.

Rumah itu menyatu dengan alam, sebuah karya arsitektur yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Atapnya terbuat dari daun-daun raksasa yang melengkung, menambahkan sentuhan magis pada keseluruhan bangunan. Pintu masuknya dihiasi dengan hiasan bunga-bunga eksotis dan dedaunan warna-warni, seolah mengundang siapa pun yang berani mendekat untuk mengungkap keindahan yang tersembunyi di dalamnya.

Gerald mencoba mengetuk pintu berulang kali, namun tidak ada jawaban dari dalam. Dengan ekspresi tekad yang jelas tergambar di wajahnya, Gerald akhirnya mengambil langkah tegas. Dengan satu tendangan yang kuat, pintu itu pun terbuka, engselnya yang sudah tua tidak mampu menahan kekuatan pukulan ayah Yusha.

"Sepertinya terlalu..." Yusha terdiam, matanya memandang pintu yang baru saja dirubuhkan dengan keheranan. Gerald berdiri di depan pintu yang terbuka lebar, menatap kedalam dengan bangga. "Sekarang kita bisa masuk!" ucapnya dengan nada penuh keberhasilan, langkahnya mantap memasuki lorong rumah yang gelap, suaranya bergema dalam ruang kosong. Yusha mengikutinya perlahan, hatinya berdebar-debar menghadapi ketidakpastian yang ada di dalam rumah yang baru saja mereka masuki.

"Permisi," ucap Yusha dengan penuh sopan, mencoba mempertahankan etiket meski situasinya tidak biasa. "Maaf jika kami mengganggu, kami tidak bermaksud merusak pintu." Bisiknya pelan, langkahnya terhenti sesaat saat ia memperhatikan lorong yang gelap di depan mereka, berjalan dengan hati-hati seperti seekor kepiting.

Oneiroi : Menyentuh Keajaiban Berwujud Fantasi (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang