"Abah, besok adek mau mendaki lagi."
Abah yang sejak tadi sibuk bersama burung-burungnya, sontak menoleh mendengar suara putri tunggalnya berbicara. Seohyun di belakang sana baru saja kembali setelah memberikan pisang goreng dan kopi pahit untuk Abah.
"Hah? Kamu bukannya baru mendaki kemarin kemana tuh?"
"Bromo? Sekarang beda atuh, Bah."
Seohyun menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. "Sekarang mau pendakian ke Gunung Sindoro, sama temen yang sama."
"Bukan dari kampus?"
"Bukan, kan dilarang sama Pak rektor botak itu."
Abah tidak tersenyum mendengar guyonan putrinya. Seohyun tetap diam di tempat, menunggu persetujuan Abah.
"Siapa saja yang ikut?"
"Ketua Mapala ikut kok, Bah. Kak Wahyu, dia yang ajak adek buat mendaki."
"Ini grupnya si Wahyu sama komplotan anak Cililitan?"
Seohyun tertawa kecil, meski mengangguk. "Iya, bocah-bocah yang pernah kemari terus Abah nggak suka karena bau kaki." akhirnya Seohyun benar-benar terbahak.
Abah ikut terkekeh meski masih nampak kerutan di wajahnya, terutama bagian mata. Ada sebuah kekhawatiran tersendiri bagi Abah untuk menyatakan boleh bagi Seohyun melakukan pendakian lagi. Walau kegiatan UKM Mapala tidak berjalan baik, tetapi Seohyun berhasil tetap mendaki berkat Kak Wahyu dan komplotan Cililitan.
"Gimana, Bah? Deket kok cuma di Jawa Tengah, deket Dieng, Bah."
Abah tidak setuju dengan pernyataan itu. Dekat baginya itu naik Gunung Papandayan atau Gunung Salak, sudah masuk wilayah Jawa Tengah artinya jauh. Seohyun semakin tidak sabaran.
"Adek belum pernah ke sini, Abah."
"Apa sih ribut-ribut?" Ibu datang membawa sisa pisang goreng yang baru matang dan menuangnya di piring yang Seohyun bawa tadi.
"Itu yang soal mendaki."
Ibu menoleh pada Abah dan tersenyum kecil saja. "Biarin aja, Bah, anaknya kepengin banget ke sana. Lagian kita juga udah kenal sama temen-temennya."
"Bukan itu masalahnya, Ibu."
"Terus apa?" suara Seohyun yang tidak sabar.
Abah menghela. Pikirannya banyak tapi tidak bisa diungkapkan. "Berapa lama mendakinya?"
"10 hari sudah sama perjalanan, Bah. Di sana kita juga mau liburan di Dieng."
"Ya sudah, tapi kamu harus janji sama abah!"
Seohyun baru saja membuka lengannya untuk memeluk Abah, menjadi terdiam.
"Pulang dengan selamat, jangan luka, ikuti peraturan setempat dan bawa oleh-oleh buat abah sama ibu."
"Siap, Bos!" Seohyun memeluk Abahnya erat. "Makasih, Abah!"
Saat itu Seohyun sungguh pergi mendaki diantar oleh Abah menuju stasiun karena mereka berjanji untuk bertemu di sana. Seluruh kawan Seohyun pasti kenal Abah, karena kemana pun Seohyun pergi, Abah pasti ikut sebagai pengawal juga supir ojeknya. Setelah pensiun dari kepolisian, Abah semakin dekat dengan putri kecilnya yang kini sudah 21 tahun.
Seohyun pamit dengan wajah riang, melambaikan tangan pada Abah yang hanya bisa mengerutkan wajahnya. Sebenarnya dia bukan hendak melarang Seohyun mendaki lagi, tapi ada sebuah perasaan yang melarang dia untuk membolehkan Seohyun pergi. Nyatanya, kini Abah tetap teguh memberikan izin.
Abah punya mobil, tapi jarang dipakai karena belakangan ini Abah sering kesemutan jika menyetir lama. Makanya, Abah lebih suka naik motor jika jaraknya dekat dan naik mobil dengan disupiri oleh Mas Ratno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Impian - END
Fanfiction[Marriage, AU 15+] "Berapa usia lo?" "29 tahun." Perempuan itu menghela. "Kenapa? Itu masalah?" Perempuan ini hampir hilang akal bagaimana caranya menolak perjodohan ini, menghilangkan pria gila ini dari hidupnya. Juga semua ucapannya yang penuh omo...