Gadis berkulit pucat itu berulangkali mematut dirinya di depan cermin. Memastikan penampilannya sempurna. Dasi yang tertata rapi, seragam sekolah yang tak kusut dan wangi serta rambut yang segaja di ikat agar terkesan rapi.
"Sempurna" gadis itu menjentikkan jari, segera menyandang tas sekolahnya. Sebentar lagi bus yang mengantarnya menuju sekolah akan tiba di halte. Gadis itu tersenyum menatap sebuah foto keluarga yang sengaja dipajang di dekat pintu. "Ayah, Ibu, aku berangkat" ujarnya semangat.
Tak ada sahutan. Rumah itu hening begitu pemiliknya mengunci pintu dari luar. Memang apa yang bisa di harapkan dari foto yang merupakan sebuah pajangan?
Bagi Kirana tak ada yang istimewa dari kehidupan sehari-harinya. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, berlarian ke halte, belajar disekolah, kerja paruh waktu, pulang, belajar, tidur lalu bangun lagi. Pola kehidupannya yang monoton itu tak berubah sejak kedua orang tuanya meninggal.
Suara pintu bus yang berdesing terbuka membuat Kirana tersadar dari ketertegunannya. Ia segera melangkah masuk dan mencari tempat duduk setelah membayar biaya angkutan.
Bus segera ramai diisi oleh siswa-siswi yang menempuh pendidikan. Saking ramai dan penuhnya Kirana harus membuka kaca jendela agar tak terasa pengap. Gadis itu memejamkan mata, membiarkan anggin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, mengabaikan desakan dan kericuhan yang terjadi dibelakangnya.
Meski lelah dan kadang mengeluh, Kirana tak pernah merasa bosan. Menurutnya hidup itu penuh perjuangan. Semua orang pasti akan merasakan kerasnya hidup, hanya saja ia sedikit spesial karena memulainya lebih awal dibanding orang lain.
Butuh waktu 20 menit bagi Kirana untuk tiba di halte akademi Aster. Gadis itu tersenyum, menyapa satpam yang bertugas sebagai bentuk kesopanan. Halaman akademi ramai oleh murid-murid yang baru saja datang. Padahal masih ada waktu 30 menit sebelum bel masuk berbunyi, namun peraturan ketat akademi rupanya membuat semua orang takut dan memilih untuk cari aman.
"Selamat pagi Kirana"
Kirana bergidik mendengar bisikan di teringa kanannya. Gadis itu melirik tajam sang pelaku. "Apa kau tak punya sopan-santun?" cercanya kesal.
Elio tertawa, segera membuntuti Kirana yang mempercepat langkah. "Bukankah pagi ini sangat cerah? Ah, bahkan kondisi jalanpun tak macet seperti biasanya. Sepertinya cuaca sedang bersahabat karena kau sedang senang...."
Kirana mendengus, berusaha mengabaikan ocehan Elio. Kenapa pemuda itu terus menempel padanya?
"Hei, kau mengabaikan ucapanku"
Cukup. Kirana menghenti kan langkah, menatap sinis Elio yang justru menunjukkan wajah tanpa dosa. "Apa maumu? Berhentilah mengikutiku Adelio"
Pemuda itu kembali tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang menawan. "Aku hanya ingin berteman denganmu karena kau juga suka berkuda" Elio mengambil sesuatu dari saku jasnya. "Padahal saat itu kau ramah. Lihat. Aku sudah membuat surat permintaan maaf"
"Lalu?" Kirana melipat tangannya di depan dada. Meski tau bahwa Elio tidak meletakkan kalung Catrina itu ditasnya, tetap saja ia merasa marah. Karena Elio ia nyaris saja dikeluarkan. "Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkanmu" sarkasnya.
Elio mengangguk-ngguk, memilih untuk mengalah. "Baiklah. Tidak masalah. Kalau begitu kau ada waktu sepulang sekolah? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat"
Kirana melotot. Apa Elio tak paham juga. "Kau—"
"Aku tak bisa menikmati sarapan tadi. Sekarang aku benar-benar lapar"
"Aku membawa bekal. Kau mau?"
Pandangan Kirana kini tertuju pada Bella dan Theo yang tengah berbincang akrab tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu menggigit bibir. Entah kenapa melihat keakraban Bella dan Theo membuat dadanya berdenyut nyeri. Ia merasa sedikit cemburu. Padahal seharusnya ia tau ia tak lebih dari seunjung kuku bagi Theo.
KAMU SEDANG MEMBACA
CROWN WEARER
Random[GO FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Tidak peduli seberapa berat tanggung jawabnya, orang yang memakai mahkota adalah pemenangnya. Faktanya adalah mahkota akan selalu menjadi pemenang. . . Ide sepenuhnya milik author. Apabila ada kesamaan plot dengan cerita...