3

2.6K 380 29
                                    

Hari-hari terus berjalan, Alana terus mengurung diri di kamar sejak kematian ayahnya. Penampilannya terlihat begitu kacau, tubuhnya terlihat makin kurus, lingkaran hitam di bawah matanya dan mata bengkaknya membuat gadis itu terlihat begitu menyedihkan. Sepanjang hari Alana hanya menangis dan merenung di balkon kamarnya.

Nissa yang awalnya kecewa dengan keegoisan putrinya itu, mulai khawatir sebab Alana tak pernah mau makan apapun. Berkali-kali ia membujuk Alana agar keluar dari kamarnya, namun hasilnya nihil. Pagi ini Nissa mencoba meminta pertolongan kepada Jaya, berharap lelaki itu setidaknya bisa membujuk Alana untuk makan.

“Bunda harap dia mau keluar setelah kamu ajak bicara ya”

Jaya tersenyum berusaha meyakinkan wanita paruh baya dihadapannya, perlahan ia memasuki kamar Alana. Gadis itu ada di balkon kamarnya, terduduk di lantai sambil memeluk fotonya bersama sang ayah, tatapan gadis itu tampak kosong. Jaya bisa melihat betapa hancurnya Alana setelah kepergian ayahnya, seakan-akan separuh jiwanya ikut hilang. Jaya memakluminya, anak perempuan cenderung lebih dekat dengan sosok ayah, begitupun sebaliknya, anak laki-laki cenderung lebih dekat dengan sosok ibu, semua itu seakan sudah menjadi sesuatu yang awam.

Jaya mendudukan dirinya di depan Alana, lalu menggerakkan tangannya mencoba berbicara dengan gadis itu“Na, makan ya” Alana tetap tak berkutik, Jaya tampak menghela nafas sejenak lalu menangkup wajah gadis dihadapannya, mencoba memfokuskan perhatian Alana kepadanya. “Jangan kayak gini na, ayah kamu di atas sana gak akan tenang ngeliat kamu kayak gini” untuk ke sekian kalinya gadis itu kembali menangis, namun sesaat kemudian ia mengusap air matanya kasar dan melayangkan tatapan sinis kepada Jaya “Gak usah sok baik ke gue, gue gak butuh perhatian lo” ketusnya lalu melenggang pergi.

“Eh kamu mau kemana nak?” tanya sang bunda saat melihat Alana keluar dari kamar.

“Mau mandi, bunda” jawabnya sambil tersenyum singkat.

 Tak berselang lama Jaya juga keluar dari kamar “Duduk dulu ya nak, sekalian nunggu Alana selesai mandi” Nissa membawa Jaya ke ruang tamu, wanita itu terlihat bersemangat menceritakan masa kecil putrinya, sesekali Jaya ikut tertawa saat mendengar momen lucu Alana. Karena asik bercerita, Nissa dan Jaya tak menyadari Alana ada di belakang mereka.

“Ekhem”

“Eh udah selesai mandinya? Kalian silahkan bicara berdua, bunda bikinin minum dulu buat Jaya” ucap Nissa sebelum pergi ke dapur meninggalkan Jaya dan Alana di ruang tamu, memberi mereka waktu berbincang berdua dan saling mengenal satu sama lain. Jaya tersenyum lembut kepada Alana, tetap berusaha memberi perlakuan sebaik mungkin kepada gadis dihadapannya. Alana tidak bohong senyum Jaya begitu indah, sayangnya rasa bencinya kepada lelaki itu lebih besar. Ia masih menganggap kematian ayahnya itu salah Jaya.

Alana berjalan ke sofa didepan Jaya, mengangkat salah satu kakinya.

“Gue mau nikah sama lo, tapi inget ini semua cuma demi almarhum ayah gue, ga lebih” ketusnya. Netranya menelusuri tubuh Jaya lalu mengatakan “Lo bukan selera gue, udah cacat beban banget sih”

Jaya hanya tersenyum menanggapi segala omongan Alana. Jaya tau Alana itu gadis yang sangat baik. Gadis itu hanya terpukul karna kepergian sosok ayah yang sangat ia cintai.
Alana yang melihat bundanya sudah selesai menyiapkan minum, ia segera pindah ke sebelah Jaya “Kalau ada bunda kita harus keliatan saling cinta” bisiknya.

Aku memang mencintaimu,na’ ucap Jaya dalam hati.

“Gimana udah ngobrol-ngobrol?” tanya Nissa yang langsung disahuti Alana.

“Udah bunda, Alana mau dijodohin sama Jaya” jawabnya yang sontak mengundang tawa bundanya.
“Haha bercanda ya kamu? masa baru bunda tinggal sebentar udah mau aja”
“Ihh beneran bunn”

“Beneran Jaya?” Jaya mengangguk sebagai jawaban.

“Andai semudah itu ya kemarin...”

“Maaf, bunda...”raut wajah Alana berubah sendu, ia tak berniat membela diri, karna nyatanya ia sadar bahwa ia memang terlalu egois. Dari kecil Alana selalu dimanja oleh orang tuanya, segala yang gadis itu inginkan pasti dituruti. Jadi ketika beranjak dewasa ia masih terbawa dengan sifat manjanya, saat keinginannya tidak dituruti maka ia mulai merasa bahwa orang tuanya tak lagi menyayanginya.

“Mungkin udah takdir, jadi kapan kalian menggelar acara nikahannya”

“Minggu ini”

“Ya udah nanti biar bunda yang urus semuanya, temen-temen kamu di undang kan?”

“Emm kita mutusin ga ngundang banyak orang bun”

“Loh kenapa?”

“Nggak apa-apa, Alana pengennya nikahannya cuma ngundang keluarga terdekat aja, yang penting kan ‘sah’nya haha”

“Waduh udah ngebet sahnya aja” celetuk sang bunda, Nissa tak menyadari bahwa semua yang dikatakan putrinya itu hanya sandiwara, sandiwara yang entah sampai kapan harus dilakukan Alana dan Jaya.

*:・゚✧*:・゚

Omongan Alana nyelekit banget ga sih,  kasian Jayakuu( ㅠ ㅅ ㅠ)

Lanjut part selanjutnyaaa

Jaya AzhariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang