PART 5. RESAH

24 20 30
                                    

Pada titik terpasrah, aku menjumpai
penyesalan yang teramat dalam.
Mengeluh pada semesta, kenapa
mendatangkan sosok dia jika pada
akhirnya banyak menorehkan luka.

•••RINTIK PEKAT

Happy reading📍

Meski sedikit melenceng dari rencana, setidaknya tenda kami sudah berdiri pukul lima sore. Masih ada sisa waktu untuk menikmati senja di atas hamparan pasir pantai, menyaksikan sang surya perlahan tenggelam di ufuk barat sesuai dengan kodratnya.

"Geser kanan dikit. Nah cukup-cukup, sekarang aku foto ya. Satu, dua, tiga!"

Mas Dandi memotret kami berlima, bermandikan rona senja dan gelak tawa sepenuhnya. Aku sangat senang, di sampingku sudah ada laki-laki yang bisa kusebut sebagai pasangan. Lalu Mas Dandi juga sepertinya sudah melupakanku, dan menemukan pengganti yang lebih baik. Menurutku, Susan adalah orang yang tepat untuk Mas Dandi.

••••

"Ayo Put, kita cari kayu di sebelah sana!"

"Ayo!"

Aku dan Putri mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun, sementara para laki-laki ada yang ikut nyari kayu bakar ada juga yang berjaga di depan tenda.

Susan, gadis itu tiba-tiba tumbang setelah bermain di tepi pantai tadi sore. Sialnya, kami tak membawa kotak p3k. Itu karena kami sama sekali tak mengira hal seperti ini akan terjadi.

"Jangan jauh-jauh, nanti tersesat."

Deg!

Suara berat itu aku mengenalnya,Mas Dandi! Aku menoleh, mencari keberadaan Putri yang tiba-tiba menghilang. Lah aku ditinggalin, apa Putri yang ngilang ya?

"Loh Mas, bukannya lagi jagain Susan? Susan gimana udah mendingan?" tanyaku penasaran.

"Dia udah mendingan kok." jawabnya dingin, aku tak berani menatap mata bening itu. Meski cahaya remang dari rembulan  dan gelap gulitanya malam, aku dapat merasakan Mas Dandi sedang menatapku dengan tajam.

"Mas, Putri ma—na?" ucapanku tertahan, saat Mas Dandi berjalan mendekat. Pria itu tiba-tiba memegang bahuku dengan erat-- lebih ke arah mencengkram.

"Kamu kenapa ninggalin aku gitu aja, Na?"

Deg! Jantungku berdetak dengan cepat, kupikir Mas Dandi sudah melupakan masa lalu kita.

"Kamu kenapa muncul sekarang, disaat aku  sudah bersama Susan. Kamu mau bikin aku goyah hah?! Jawab Alana! Kenapa kamu ninggalin aku waktu itu!"

Suara teriakan Mas Dandi beradu dengan deburan ombak, lututku mulai tak sanggup menahan beban tubuhku. Ingin rasanya aku ambruk, namun aku harus menghadapi Mas Dandi dengan tenang.

"Mas, Mas tenangin diri dulu. Jangan seperti ini," ucapku, lalu menurunkan tangan Mas Dandi yang masih bertengger di bahuku.

"Mas, maafin Alana. Maaf sudah meninggalkan Mas Dandi tanpa alasan, waktu itu aku masih belum bisa berpikir dewasa. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk ngungkapin alasan aku ninggalin Mas waktu itu, Ibu kamu Mas. Ibu kamu ngelarang aku buat ngedeketin kamu, gara-gara pakaianku Ibu kamu bilang aku cewek ngga bener. Aku sakit hati Mas, makanya aku pergi." terangku dengan nada sedikit serak.

Mengingat penghinaan waktu itu, aku tak akan melupakannya. Tapi aku tahu, ngga boleh menyimpan dendam, apalagi ke orang tua.

Mas Dandi terdiam, cukup lama. Mungkin dia butuh waktu untuk menerima alasanku ini.

"Kenapa kamu ngga bilang aja ke aku Na. Masalah Ibu... Aku bisa selesaikan, dengan begitu kita ngga bakal bertemu seperti ini Na."

"Mas, aku ngga mau ngerusak hubungan kamu sama ibu kamu. Lebih baik aku yang mengalah, toh kamu sekarang udah bertemu sama orang yang tepat. Susan orang yang baik, penampilannya juga sopan ngga seperti aku yang kayak cewek ngga bener." tuturku memancing amarahnya.

"Alana! Mau sampai kapanpun ngga bakal ada yang bisa gantiin kamu dihati aku. Susan, dia terlalu baik. Aku mohon sama kamu ayo kita bangun lagi hubungan kita. Aku bakal bilang ke ibu kalau—" bujuk Mas Dandi yang kini terlihat frustasi.

"Mas! Udah! Kita udah berakhir! Kita udah menemukan pasangan kita masing-masing, lagipula aku udah sama Mas Roni yang menerimaku apa adanya. Dan aku harap sama Mas, jangan sakitin Susan!"

Aku pergi meninggalkan Mas Dandi seorang diri, membiarkan dia mencerna apa yang sudah kukatakan dengan lantang. Bahwa kita sudah usai, kuharap Mas Dandi sadar dan tidak mengungkit masa lalu kita yang sudah lama terpendam.

•••

Api unggun sudah menyala. Kami semua duduk melingkar, mencari kehangatan dari panas yang terpancar dari api unggun. Suasana riuh mengisi camp kami. Namun aku hanya diam memandang bara api yang berkobar liar, sementara pikiranku berkecamuk memikirkan apakah perkataan yang aku lontarkan ke Mas Dandi sudah benar.

"Na, tumben diem aja. Nih, Mas bikinin coklat hangat." tawar Mas Roni dengan senyum merekah. Aku lupa, Mas Roni adalah orang yang aku cintai sekarang.

"Makasih Mas," ucapku senang. Benar! Aku punya Mas Roni yang menerimaku apa adanya, bahkan dia tak mempermasalahkan penampilanku.

•••B E R S A M B U N G•••

DEKAPAN DI BIBIR PANTAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang