PART 6. TIGA KAPAL

13 10 5
                                    

Jangan terpaku dengan hukum karma, kamupun harus segera melangkah dari jeratan patah.

•••RINTIK PEKAT

Happy reading📍

Malam yang istimewa ini harus diisi dengan kegembiraan, apalagi Mas Roni telah mengutarakan perasaannya. Uh jadi kita sudah menjadi kapal yang berlayar ya, ahaha kapal berlayar ya ahaha... eww. Tak kusangka ternyata tanganku asik memainkan ranting pohon dan menggunakannya sebagai alat untuk menggambar sebuah kapal di atas pasir.

Eh ngomong-ngomong soal kapal.

"Mas. Lihat deh kapal di laut sana, kayak kita ya. Ngeng... Ada tiga kapal yang berlayar, itu kapal aku yang paling gede. Terus yang sebelahnya kapal putri yang gelap pencahayaannya, lah itu baru kapalnya Susan yang jalannya lurus kagak pernah belok-belok." ucapku random. Ini karena malam sudah semakin larut, namun kita masih setia untuk ngabrut.

"Eh, Na. Kamu ngga kesambet kan?!" kaget Putri yang langsung menyentuh dahiku kemudian menaruh punggung tangannya diketek sambil mesam-mesem. Argh aku tak punya tenaga untuk menghadapi satu kutu kupret ini.

"Masa aku kapalnya paling gelap. Aku mau yang paling gede juga dong!" protes Putri dengan bibir dimonyongkan.

"Engga Put, orang itu kapalnya cuma tiga. Kamu mau mpet-mpetan sama aku sama Mas Roni?" tuturku mengerutkan dahi.

"Kamu ngomong apa sih ege! Aku ngga paham samsek huaa!" Putri tampaknya ngga nyambung sama yang aku maksud, dia langsung berlari ke pelukan Fano.

Kini semua orang menatapku aneh, "His, kalian ini ngga maksud ya?" tanyaku resah.

"Aku juga ngga maksud Na," tutur Mas Roni yang duduk di sampingku. Aku memalingkan wajah jengkel, ya ampun.

"Kalian tau bahasa inggrisnya pasangan ngga?" ucapku malas.

"Nggak bisa bahasa enggres."

"Ya ndak tau, nanya kok nanya saya."

"Eh ada rumput yang bergoyang ngga disini, kalo ada tanyain gih."

Aku mengelus dada, ya allah tabahkan hati hamba menghadapi makhluk seperti mereka ya allah...

"Itu loh couple, COUPLE!" terangku dengan penuh kelembutan.

"Ooo couple."

"Tau ah, ngga asik. Aku mau temenan sama demit aja. Sama kalian mentalku down, huhu..."  aku menggeser badanku dan memeluk lutut.

"Weh jangan ngomong sembarangan, disini ngga ada yang bisa nanganin orang kerasukan." panik Fano yang duduk bersila sambil mengamati kami satu persatu.

"Ada kok," ucapku keceplosan. Aduh, mulut ini!

"Hah siapa Na, kamu emangnya bisa?" tanya Mas Roni dengan tampang keheranan.

"Hah, itu Mas... Hmm aku..." aku panik, mencari-cari alasan agar mereka tak mencecarku. Bisa-bisanya aku inget, dulu Mas Dandi kan jebolan pondok dan katanya dia bisa ngurusin kayak begituan.

Dalam kepanikanku, aku dapat menangkap senyum kepuasan milik Mas Dandi. Sial! Mulut ini kenapa jadi lemes gini sih. Argh!

"Kebetulan aku bisa, tapi tergantung parah apa enggaknya sih." ucap Mas Dandi dengan sorot mata mengunci pergerakanku.

"Beneran Mas? Kok aku ngga tau sih?" elak Susan tak percaya, dan sepertinya Susan belum dikasih tahu oleh Mas Dandi.

"Kan kamu ngga nanya, Susan." ujar Mas Dandi dengan nada lembut.

"Oh iya juga yah." Dapat kulihat Susan menggaruk kepalanya, itu kan pertanda dia lagi kebingungan ahaha.

•••

Huft! Untung tadi Mas Dandi ngga ngungkit soal kita, kalau aja dia bilang aku mantannya— pasti keadaan bakal runyam. Aa aku ngga mau!

"Na, Mas kok rada cemas ya." celetuk Mas Roni yang kini duduk berdua denganku, ditemani api unggun yang kini sudah menjadi abu.

"Mas mikirin apa?" tanyaku sambil memeluk tubuhku sendiri. Disini hawa dinginnya sangat terasa, ditambah angin yang cukup kencang dari arah laut.

Mas Roni menyingkirkan jarak di antara kami, hingga kami duduk berhimpitan. Degupan jantungku langsung menggila, bahkan rasanya lebih gila dari tadi siang saat Mas Roni menembakku.

"Jadi gini, Na. Padahal kita baru aja jadian, tapi Mas udah ngerasa bakal kehilangan aja. Kamu ngga bakal ninggalin Mas kan?" wah Mas Roni ini pertanyaannya selalu di luar nalar ya, huhu...

"Mas Roni kenapa berpikiran sampe kesana?" ucapku tak percaya.

"Ya... Mas tiba-tiba kepikiran kayak gitu aja Na— Huft! Tapi Mas yakin, kamu pasti ngga bakal pergi secepet itu kan Na?" Mas Roni menghela nafas, entah yang keberapa kali.

"Mas, Alana cuma mau bilang; kita itu hidupnya sekarang, bukan nanti dalam masa depan. Jadi sekarang kan Alana lagi sama Mas, Mas Roni ngga usah takut sama hal-hal yang belum terjadi. Toh tadi sore Mas bilangnya kita melangkah bersama, Mas lupa?" jelasku panjang lebar.

Mas Roni menghadap ke arahku, tangannya menangkup daguku. Lalu tiba-tiba...

Unyel-unyel!

"Kamu gemes banget sih Na! Tuh kan pipi kamu aja aku ngga nahan buat unyel-unyel gini." dalihnya.

"MAS SAKIT! JANGAN KEKENCENGAN!"

•••BERSAMBUNG•••

DEKAPAN DI BIBIR PANTAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang