15

1.4K 138 9
                                    

karma berbaring di atas kasurnya sambil membaca beberapa buku pelajaran. cuaca panas membuatnya malas keluar rumah. ponselnya ia gunakan sebagai pemutar musik, pesan-pesan yang masuk dianggurinya. ia bangkit lalu berjalan menuju meja belajar, duduk dan mulai menjawab soal-soal yang tersedia.

ketukan di pintu kamar membuatnya mendesah kesal. terpaksa ia beranjak dan membuka pintu. sepupunya ada disana, tetapi tidak sendiri. seorang remaja dengan rambut jingga berdiri di belakangnya. kekesalannya semakin menjadi-jadi saat melihat teman sekelasnya itu menyapanya.

"pagi akabane",  ia memutar bola matanya malas dan menutup pintu.

"ouch!" dua pria merah kaget mendengarnya.

"bodoh!" karma kembali membuka pintunya dan menarik asano masuk dan kembali menutupnya. ia melihat tangan putih itu lebam dan sedikit luka. dibawanya asano duduk di kasurnya dan ia mengambil kotak p3k di kamar mandi lalu memberikannya pada lelaki ginger itu. "kau punya dua tangan, obati sendiri dirimu"

violet itu memandang setan merah yang duduk dan tidak mengabaikannya. dengan tangan yang tidak luka, ia mengoleskan antibiotik pada luka kecilnya yang sebenarnya dijilatin juga sembuh.

"jangan belajar mulu, ayo keluar, malam ini ada festival kan" asano angkat bicara.

"aku tidak ingin mendengar apapun dari oramg berbakat" jawab karma ketus. "jika kau sudah selesai pergilah dari sini, sangat menyesakkan bagiku menghirup udara yang sama dengan seekor lipan"

asano hanya tertawa pelan mendengarnya. ia menutup kotak p3k dan berjalan mendekati karma. ia berdiri dibelakangnya, tangannya ditumpu pada meja belajar. jarak mereka kurang dari 30 centi.

"ayo pergi festival malam ini, akabane. kau pasti akan terlihat menawan dibalut yukata" ajak asano lagi. "akh!" tubuhnya otomatis mundur saat karma mengantukkan kepalanya.

"apa kau tuli? keluar dari sini kubilang!"

"aku akan pergi jika kau berjanji datang ke festival nanti malam"

"aku sibuk, tidak seperti orang berbakat yang sudah pintar tanpa perlu belajar" ia menutup bukunya dan berbalik.

asano berkacak pinggang menatap karma yang memasang wajah malas. ia tersenyum, senyum sangat tulus hingga membuat karma merasa akan muntah. tangan karma membuat gestur mengusir lalu masuk ke dalam kamar mandi.

"aku akan menjemputmu nanti malam, akabane, berdandanlah" teriaknya dari kamar dan beranjak meninggalkan ruang 3x4 itu.

"orang gila"

---

dia datang ke tempat ramai ini pada akhirnya. telinganya sakit mendengar suara akashi yang tidak berhenti menggedor pintu kamarnya. ia yakin itu akan dirusak jika ia tidak segera keluar. ia memakai kemeja pendek dengan jeans dan sepatu. ia hanya membawa dompet dan ponsel.

"selamat malam, akabane" remaja dengan tinggi yang sama dengannya dibalut yukata dengan corak simpel menyapanya. entah mengapa itu membuatnya lebih menawan dan karma membencinya. ingin rasanya ia membunuh saja orang ini.

ia memutar bola matanya malas lalu berjalan mendahului ginger yang mengekor dibelakangnya. mengikuti kemana iblis merah itu berjalan. tidak peduli dengan gadis-gadis yang menyapanya, ia hanya berjalan lurus diantara keramaian, tidak ingin ketinggalan oleh karma.

"hey, akabane, mau mencoba tembak-tembakan itu?" ia menarik tangan putih itu untuk tidak berjalan lebih jauh. "kalau kau menang, aku akan membayar semua yang kau inginkan malam ini. jika kau kalah, kau akan menghabiskan sisa musim panas denganku"

karma mengambil satu dari pistol mainan yang tersedia. "heh, kau meragukan skil menembakku? walau tidak sehebat rinka dan chiba, tapi aku tidak seburuk itu"

"aku sering ikut ayahku pergi latihan menembak tanpa alasan yang jelas" ia mengambil yang lain dan membayar untuk mereka berdua lalu mulai membidik.

"murid koro-sensei memang tidak bisa dilawan" asano menunduk sambil menopang tubuhnya dengan kedua tangannya. "lagipula aku dirugikan karena tanganku luka" ia terlihat lebih sedih dari pemilik stand yang rugi banyak karena pertandingan dua siswa SMA itu.

"bukan urusanku, kau kalah karena kau payah"

asano memberikan tas lipat pada karma untuk mengisi hadiah-hadiah yang didapatnya. ia sengaja membawanya untuk hal ini. setelah mengucapkan terimakasih pada pemilik stand tembakan yang sedang pundung itu, mereka lanjut berkeliling.

"baiklah, aku akan menipiskan dompetmu malam ini" gumam karma angkuh.

"karma?" yang dipanggil menoleh. "wah! beneran karma!"

"oh, isogai, bareng siapa?" ia memasang senyum andalannya.

"oh, ini rame kok" ia menunjuk mantan siswa kelas 3-E yang mencar. "katanya kau sibuk, tapi akhirnya kau datang juga"

karma memutar bola matanya malas lalu berkacak pinggang. "ada satu dua hal yang terjadi hingga aku harus datang kemari"

"ayo kita melihat kembang api bersama!" isogai mengajak dengan semangat. "kau juga asano, ayo bergabung bersama kami"

"aku tidak tahan berlama-lama dengan orang rendah seperti kalian" mulutnya yang penuh kediktatoran memang sulit dihilangkan.

"a-ah, begitu, baiklah" isogai kecewa mendengarnya. "eum, bagaimana denganmu karma?"

karma memasang wajah jijik pada asano dan meninggalkan lelaki jingga itu sambil merangkul isogai akrab. "ayo kita pergi, sudah lama aku tidak bertemu dengan kalian. kita sibuk dengan urusan masing-masing"

"akabane!" panggilannya tidak dihiraukan. "akabane! bukankah kau bilang ingin menguras dompetku?" ia masih berteriak.

"diam, aku tidak butuh apapun dari diktator yang mengangkat masalah lama" ia menjawab tanpa menoleh dan menghilang di tengah keramaian.

asano mengeratkan genggamannya pada tas berisi hadiah permainan tembak tadi. ia memandang sekitar, seorang anak kecil menangis karena tidak dibelikan permen oleh ibunya. ia mendekati mereka.

"halo dik, aku akan memberimu mainan ini, tapi jangan bikin ibumu khawatir lagi ya" ia menyerahkan semuanya pada mereka lalu beranjak tanpa menunggu jawaban.

kakinya melangkah menjauh dari kerumunan massa di festival wajib setiap tahun. mood-nya hilang. hatinya sakit melihat pandangan benci karma padanya. biasanya juga ia mendapat maki dari orang itu, tapi yang barusan itu berbeda. apa salahnya? ia hanya berkata yang sebenarnya. lagipula ia sudah tidak suka dengan pemimpin kelas E yang selalu buat ulah saat SMP dulu.

dan apa katanya tadi? diktator? ia hanya menerapkan apa yang diajarkan padanya. bukan berarti ia mau menjadi seperti ini. lagipula ia mengatakan yang sebenarnya kan? jadi kenapa ia mendapat pandangan seperti itu dari orang yang paling ingin dikagumi olehnya.

mulut sialan.

---

maaf updatenya makin lama, ideku mulai berkurang..

maaf juga kalo terkesan maksa

makasih udah baca, vote dan komen ceritaku

see yaa

ketua osisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang