Hawa dingin menyelinap masuk tanpa izin. Jaket yang dikenakan Arunika hanya seperti secarik kain hampa. Sesekali Arunika mengebaskan tangannya ke rerumputan yang masih dihinggapi embun yang ditinggal bintang kejora. Hatinya damai di hadapan gunung besar yang berdiam diri di seberang sana. Ia duduk bersimpuh, memangku kedua tangannya dan menunggu. Ia menunggu kedatangan Surya. Ya, terbitnya matahari selalu menyiratkan harapan. Itulah mengapa namanya adalah Arunika, matahari terbit. Ia tersenyum, ia banyak menimbun harapan mungkin karena alasan yang sama pula.
Gunung selalu menyimpan keindahannya sendiri. Arunika menyukainya. Ia rela menempuh perjalanan selama dua jam dari kotanya demi keindahan itu. Keindahan yang tersimpan di Purwojiwo. Ia tak kuasa menolaknya. Keindahan selalu menjadi hasrat jiwanya. Arunika cemburu. Gunung selalu memiliki kesempatan untuk bercumbu dengan langit, kendati banyak anak manusia yang mengaguminya. Arunika mengagumi keduanya, langit dan gunung. Keduanya sama-sama menyimpan keindahan yang sukar dibendung mata. Keduanya pun selalu dikaitkan dengan dewa-dewi. Keduanya menjadi tempat tinggal para dewa dan dewi. Mungkin karena keindahan dan kemisteriusan keduanya, para dewa dan dewi memilih mereka.
Arunika tersenyum. Manusia selalu menghasrati keindahan. Ada prinsip tertinggi yang dipatok manusia untuk keindahan. Keindahan selalu menjadi obat yang tepat untuk melepas penat. Semburat cahaya matahari memeluk Arunika, ia dihangatkan oleh harapan yang tersirat bersama cahaya itu. Entahlah, Arunika selalu mengingini tempat itu. Ia akan sangat merindukan tempat itu dan kerinduan itu pula yang akan menghangatkan harapannya. Arunika tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Arunika
General FictionTubuhnya tinggi. Sorot matanya yang sipit nampak tajam. Wajahnya tirus. Sebagian wajahnya ditutupi rambut hitamnya yang tebal itu. Kulit putihnya nampak cerah diterpa sinar matahari. Senyum jenaka kadang kala terukir di bibir mungil itu. Kendati waj...