NANTI

6 2 2
                                    

Arunika masih di sana. Duduk terdiam di balik jendela kamarnya. Ia hendak menenangkan diri. Ia ingin melepas rasa yang mengganjal dalam hatinya. Hari ini ia bertemu kembali dengan orang yang pernah ia cintai. Ia begitu mencintainya hingga merasa tak lagi ingin dicintai. "Kalau kukatakan, 'Aku cinta padamu,' sumpah yang kunyatakan, 'Aku mencintai kemanusiaan yang ada padamu, semua kehidupan serta diriku yang ada dan hidupku padamu." Kutipan dari Erich Fromm dalam buku Anatomi Cinta yang ia baca menghanyutkannya dalam lamunan. Arunika tak banyak tahu tentang hal itu. Cinta sukar dijelaskan. Rasa-rasanya lebih mudah menjelaskan tulisan Martin Heidegger daripada harus bersusah payah menjelaskan tentang absurditas cinta. Ia merasa bodoh di hadapan hal itu. Hal itu sukar ditakar dengan nalar. Mungkin Tolstoi benar, jika hal itu adalah hal yang pernah dibaca atau dijelaskan, maka ia tak pernah mengalaminya.

Bagi Arunika, orang itu hanya datang dan melemparkan dirinya dalan dilema. Ia datang dan membiarkannya terkapar dalam dilema. Arunika tertawa. Ia menertawai kebodohannya sendiri. Ia sebenarnya sedang gusar, tawa hanyalah penghiburan kecil baginya. Jika saja Kahlil Gibran benar dengan mengatakan manusia hanya perlu mengikuti kemana cinta membawa mereka, maka Arunika ingin menegasi hal itu. Ia tak berniat mengikuti hal itu lagi. Baginya hal itu hanyalah kebodohan instingtual semata, sama sekali tak berharga layaknya sepasang mata.

Arunika masih di sana, di balik jendela kamarnya. Matanya menerawang jauh. Pikirannya jatuh di masa antah-berantah. Entah. Nanti, ia hanya ingin melihat hal yang ia rasakan sebagai kerapuhan instingtual. Ia tak peduli jikalau harus menjadi seorang individualis. Arunika menutup jendela kamarnya. Ia menutup ceritanya sendiri.

Namanya ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang