Sirene ambulans terdengar memekakkan telinga. Mobil itu melaju dengan kencang menerobos ratusan kendaraan yang sedari tadi tumpang tindih terjebak kemacetan. Tak pelak lagi, kendaraan-kendaraan itu menepi, memberi ruang, bentuk solidaritas alam bawah sadar. Arunika menoleh. "Pasien yang dibawa ambulans itu sepertinya dalam keadaan darurat," batin Arunika. Ia termenung sendiri. Dalam benaknya tergambar betapa mengerikannya kala seseorang menghadapi kematian.
Arunika berbalik. Ia mengayunkan kakinya seraya menghirup udara sebanyak yang ia bisa hanya untuk memastikan kalau ia tidak kehilangan kemampuan bernafas secara tiba-tiba. Ia meraih earphone dalam saku celananya, lantas memasangkannya pada gawai di genggaman tangannya. Lagu "A Million Dreams", lagu terkenal dalam film "The Greatest Showman" yang disutradarai Michael Gracey, segera menggema memenuhi kepalanya. Ia hanya sekadar berjalan-jalan melepas penat di pagi hari, usai semalam suntuk tak mengambil rehat lantaran tugas kuliah yang terus berlipat ganda. Arunika termenung. Bagaimana jika esok kematian mendatanginya? Ia bergidik ngeri membayangkan tubuhnya yang sudah menjadi mayat usai dijemput kematian.
Para bhiksu yang merenungkan kitab Satipatthana Sutta sadar bahwa tubuh manusia, sebagai materi dan kodrat, sama dengan mayat. Tubuh manusia mustahil untuk lolos dari nasib itu, mati. Lantas untuk apa kita hidup? Kemana kita pergi usai dibawa oleh kematian? Tidak bisakah kita berkompromi dengan kematian? Orang beragama tentu akan menjawab kita hidup untuk Tuhan. Kita akan pergi ke surga, nirvana, neraka, berinkarnasi, atau hal lain semacamnya. Arunika tidak berpikir demikian. Ia malah berpikir untuk memperbaiki hidupnya. Tentang surga dan neraka itu ada atau tidak, ia tidak memikirkannya. Ia ingin memperbaiki hidupnya. Ia ingin mengoleksi sebanyak mungkin pundi-pundi kebaikan, meskipun sesudah kematian cerita tentang dirinya akan terhapus dari ingatan dunia. Ia ingin melukis diri sendiri, menulis cerita hari ini, dan menikmati kehidupannya yang semu.
Manusia mungkin takut dengan kematian. Manusia membayangkan sakit yang harus dideritanya saat menghadapi kematian. Nyatanya rasa sakit itu tidak ada. Bukankah saat kematian datang manusia sudah tidak ada lagi? Arunika termenung. Kepalanya dipenuhi pantulan ide Epikuros. "Selamat pagi," suaranya terdengar riang. Ia menyapa orang-orang yang ditemuinya. Senyuman hangat dan wajah riang ia hadiahkan untuk orang-orang yang ia temui. "Tak boleh ada kesia-siaan di hari ini," batin Arunika.
(sumber gambar: https://www.grid.id/read/041669380/4-hal-yang-dipercaya-sebagai-tanda-kematian-sudah-dekat-berdasarkan-penelitian-sains?page=all)
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Arunika
Fiction généraleTubuhnya tinggi. Sorot matanya yang sipit nampak tajam. Wajahnya tirus. Sebagian wajahnya ditutupi rambut hitamnya yang tebal itu. Kulit putihnya nampak cerah diterpa sinar matahari. Senyum jenaka kadang kala terukir di bibir mungil itu. Kendati waj...