Gelapnya malam semakin pekat. Suara jangkrik yang sedari tadi bersahutan telah sirna, mungkin mereka telah tertidur. Rasa iri membuncah dalam hati Arunika. Ia iri. Sebagian besar makhluk yang bernafas sudah terbuai mimpi, sementara ia sendiri masih terkungkung dengan kegaduhan dalam pikirannya. Ia hanya berharap keributan dalam benaknya mereda. Sebait kalimat Nietzsche mengobrak-abrik pikirannya. Kalimat figuratif tanpa definisi yang terlampau realistis baginya.
"Rasa sakit adalah kontras yang niscaya, tak dapat dielakkan, dan punya nilai tersendiri". Bukankah itu terlampau realistis? Arunika membatin. Keseharian acak-acakan menuntun banyak orang kepada kegilaan. Banyak orang sungkan untuk mengisbatkan hidup mereka sendiri, mungkin tak merayakannya lebih tepat.
Arunika hanyalah gadis kecil di balik jendela yang penasaran dengan disposisi tragis kehidupan manusia. Bukankah rasa sakit terlahir berkat kepedihan dan kekecewaan? Mengharamkannya bukanlah alternatif yang cukup baik. Merayakannya mungkin nampak lebih baik, pikir Arunika, amor fati: cinta nasib, seutuhnya. Lihatlah ibu yang melahirkan: sakit yang ia derita bukanlah sebentuk kepedihan, sakit itu hanyalah serpihan haru yang mengiringi kehidupan baru. Lantas, pikir Arunika, apakah cukup apabila seseorang hanya mencintai nasibnya seorang diri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Arunika
General FictionTubuhnya tinggi. Sorot matanya yang sipit nampak tajam. Wajahnya tirus. Sebagian wajahnya ditutupi rambut hitamnya yang tebal itu. Kulit putihnya nampak cerah diterpa sinar matahari. Senyum jenaka kadang kala terukir di bibir mungil itu. Kendati waj...