[ii]

98 12 0
                                    

"Permisi Tuan."

Tangan yang bergetar itu mengetuk pintu kayu berbahan jati di depannya. Menunggu jawaban dari dalam sebelum akhirnya bisa menerobos masuk ke dalam ruangan pribadi Albertus. Dadanya naik turun. Hawa panas beserta dingin menyelimuti tubuhnya. Jantungnya bagai dipacu dengan cepat. Berdetak tak karu-karuan.

"Ya, masuk."

Tubuh mungil itu makin bergetar seiring dengan tangannya yang mulai menjamah pintu dan mendorong benda itu dengan perlahan-lahan menatap seorang berjas dengan bahu lebar yang duduk.

Albertus tersenyum tipis dan menolehkan kepalanya. Matanya bertautan dengan sarat rindu untuk menatap paras indah yang selalu ia impikan.

"Maaf tuan ..."

Sepersekian sekon setelah tatapan itu ia layangkan kepada sang lawan bicara, matanya berkilat penuh amarah. Dada nya bergemuruh bersamaan dengan emosi yang naik langsung ke atas kepalanya.

"Kenapa kamu yang masuk kesini?! Kamu tidak saya izinkan masuk kesini!"

Amarah lelaki itu meledak. Bukan seperti yang ia ekspetasikan, wanita lain malah masuk ke dalam ruangan pribadinya dengan sangat mudah.

"Ma- maaf kan. Maafkan saya tuan."

Albertus meremas kertas yang berserakan di atas meja kerja kayunya. Menyalurkan emosi dari urat-urat tangannya yang kini menonjol dengan begitu jelas. Netra legam sewarna batu bara itu menatap perempuan di depannya dengan begitu sadis. Siap melayangkan apapun demi puasan hawa marah yang menyelimuti.

Gadis itu tertunduk dalam, kakinya lemas. Seketika ia terduduk dengan kepala yang hampir menyentuh lantai kayu di bawahnya.

"Kenapa kamu yang datang kesini?! Saya meminta Laras yang menemui saya. Apa kamu seorang pembantu yang tuli?!" murka Albertus.

Ririn makin menenggelamkan wajahnya. Meremat kain jarik yang ia pakai sekuat tenaga. Nadi nya berdenyut dengan berantakan. Kepalanya pusing memikirkan apa yang akan Albertus lakukan padanya.

"Sa-saya ingin mengaku t-tuan. Bukan ... bukan Laras yang membuat kopi anda tad-tadi pagi. Tapi ..."

"KAMU YANG MEMBUAT KOPI SAYA HANCUR!"

Tamat. Ririn semakin gusar pun gundah. Keringat dingin mengalir di seluruh daksanya. Jemarinya kian lama kian mengeraskan rematan pada kain jarik itu hingga kusut tak beraturan.

"Jij verdomde hond! Nutteloos!"

Bak kerasukan setan, Albertus meraih miniatur hiasan kuda berbahan porselen yang bertengger apik di atas mejanya, kemudian melempar benda itu sekuat tenaga ke arah Ririn yang menunduk dengan dalam. Kuda porselen itu tepat mengenai kepala sang bedinde kemudian pecah tak beraturan, berserakan di lantai.

Ririn terdiam kaku. Kepalanya berat bagai di injak-injak ribuan gajah. Panas menjalari seluruh kepalanya yang semakin lama merambat ke daksanya. Jemari gadis itu bergerak perlahan menyentuh bagian kepala. Anyir menusuk indra penciumannya dengan jelas. Zat cair merah legam itu menghiasi tangan Ririn. Sesaat sebelum dirinya tergeletak tak sadarkan diri.

"Saya sudah tau dari awal. Bukan Laras yang merusak rasa kopi saya. Tapi tak disangka pembantu sepertimu begitu berani menantang Albertus De Groot," ujar Albertus bengis.

Mata hitam Albertus menatap Ririn yang semakin menutup mata akibat kuda porselen yang menghantam kepalanya. Tidak ada rasa kasihan atau bersalah dalam hati pun perasaan Albertus. Pria itu malah memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana hitam yang ia kenakan.

"Matilah saja kalau kamu tidak kuat lagi. Saya tidak akan bergerak untuk membantu seorang pembantu."

Ririn menatap Albertus yang masih terduduk di depannya. Seolah sedang menyaksikan pertunjukan menarik dengan dirinya yang berada antara ada dan tiada. Apa yang sebenernya sedang terjadi, gadis itu tidak mengerti. Niat dirinya hanya mengakui untuk mendapat sekata maaf dari Albertus atas kopi manisnya saat sarapan. Di tambah dengan omongan para babu soal Albertus yang mengambil kesempatan untuk bermesraan dengan Laras.

PRIBUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang