[v]

76 11 3
                                    

"Ik denk dat ik je leuk vind, Laras. Ik hoop dat je dit niet erg vindt."

Setelahnya, pria itu tersenyum lebar dan bergerak menyelipkan surai Laras ke belakang telinga. Membuat wanita pribumi itu diam kaku, tak bisa bergerak pun berucap sama sekali.

Albertus terkekeh samar. Kekehan pria itu tenggelam disapu angin malam yang semakin lama, semakin menusuk dalam rusuk. Kedua insan yang kini bertatapan dalam kesunyian itu semakin tenggelam dalam canggung tak berkesudahan.

"Mengapa menatap saya demikian?"

Laras terpaku beberapa sekon setelah tanya itu Albertus tujukan padanya. Pria itu masih intens menatapnya, bagai mahligai surgawi yang sayang untuk dilewatkan meski terlewat oleh kedipan mata.

Laras kembali tersadar setelah telapak tangan dingin dan besar Albertus bergerak begitu perlahan penuh kehati-hatian. Menjamah permukaan wajah cantik Laras. Mengusapnya dengan begitu lembut penuh damba. Seolah Laras adalah kupu-kupu yang akan terbang jikalau tak dijaga.

Sadar jika sudah mengabaikan tanya Albertus terlalu lama, Laras memutuskan untuk menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, "mengapa anda mengatakan itu pada saya tuan?"

Laras memejamkan mata. Menggigit bibir bawahnya mengusir rasa gugup yang terlajar di dalam darah. Albertus kembali menggerakkan tangannya. Menghentikan kegiatan Laras yang kini makin menggigiti bibir bawahnya.

"Jangan digigit. Itu bukan hal yang baik."

Gadis itu terdiam menatap bola mata Albertus. Kegiatannya kini ia hentikan. Berganti menjadi diam dengan getaran tubuh dan hati yang sulit terdefinisi. Gadis itu menatap telapak tangan besar dan dingin Albertus yang masih setia menggenggam telapak tangan Laras dengan erat.

"Anda belum menjawab tanya saya tadi, tuan. Mengapa anda mengatakan hal demikian?"

Laras berkata kembali. Memastikan bahwa gendang telinganya tidak salah menerima gelombang kalimat Albertus yang membuatnya diam mematung tadi. Kalimat yang tak pernah disangka akan keluar dari mulut berbibir tebal milik seorang Belanda pada Babu seperti dirinya.

"Saya mengatakannya karena memang itu kenyataan. Saya tidak tahu pasti sejak kapan."

Albertus lagi-lagi menatap dalam pada sepasang cokelat milih wanita indah di hadapannya. Lelaki itu beringsut untuk makin mendaratkan pelukan pada tubuh kecil Laras.

"Saya harap, kamu tidak keberatan. Jikalau saya menaruh perasaan padamu," kata Albertus pelan.

Laras menautkan kedua alisnya. Air wajah bingung tak dapat dia sembunyikan. Beribu-ribu bahkan jutaan tanya yang menggerogoti otaknya hanya bisa dikubur dan dilupakan. Tangan Laras dengan perlahan melepaskan tubuh besar Albertus yang masih mendekapnya. 

"Mengapa harus saya tuan?"

Akhirnya, tanya besar itu berhasil terlontar dari mulut  Laras. Gadis dalam balutan kebaya tua yang penuh dengan tanya, tak bisa membendung rasa penasaran yang membuncah. Sungguh, Albertus betul-betul pria yang misterius dan tak bisa ia tebak.

"Mengapa harus dirimu? Biarkan saya berpikir sebentar."

Laras berdecak pelan. Kesal dengan Albertus yang terus terusan menjawab pertanyaannya dengan tanya kembali.  Pria itu terdiam menatap Laras yang mengalihkan wajah ke samping, berusaha mengusir rasa kesal dan jengkel terhadap tuannya ini.

"Karena," Albertus terhenti sepersekian sekon dan menarik wajah Laras untuk kembali tenggelam dalam tautan mata legamnya sebelum kembali melanjutkan,  "karena saya merasa kamu sempurna sebagai seorang wanita."

PRIBUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang